JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, Sumarno, berharap agar kasus penghadangan terhadap calon wakil gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, di Kembangan Utara, Jakarta Barat, menjadi pembelajaran bagi masyarakat.
Dia tidak ingin kasus penghadangan kampanye terhadap semua pasangan cagub-cawagub terulang kembali.
"Bawaslu sudah melakukan tindakan, sudah memproses sampai tindak pidana pemilu. Untuk yang lain juga supaya jadi pelajaran agar tidak ada lagi," ujar Sumarno kepada Kompas.com di Kantor KPU DKI, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Senin (21/11/2016).
Sumarno mengatakan, KPU DKI tidak ingin masyarakat terkena hukuman pidana karena menghalang-halangi pasangan cagub-cawagub untuk berkampanye. Sebabnya, kampanye tersebut merupakan hak yang telah dilindungi Undang-undang.
"Oleh karena itu, masyarakat hendaklah bisa belajar dari tempat-tempat lain yang sudah terjadi," kata dia.
Sumarno meminta masyarakat untuk bersikap dewasa dalam demokrasi. Mereka boleh tidak menyukai pasangan cagub-cawagub tertentu. Namun, bukan berarti mereka diperkenankan untuk menghalangi kampanye pasangan cagub-cawagub tersebut.
"Soal dukung-mendukung, tolak-menolak, itu biasa saja dalam demokrasi, tetapi nanti ada kanalnya, ada salurannya. Kapan? 15 Februari. Kalau enggak suka, jangan pilih dia," ucap Sumarno.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta telah memutuskan kasus penghadangan Djarot di Kembangan Utara memenuhi unsur tindak pidana pemilu. Bawaslu telah membuat laporan ke Polda Metro Jaya untuk menyidik kasus tersebut.
Adapun terduga pelaku penghadangan Djarot di Kembangan Utara yakni seorang pria berinisial NS, warga Kembangan Selatan. NS diduga telah melanggar melanggar Pasal 187 Ayat 4 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang berbunyi:
"Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah)".