Program jalan berbayar dianggap ideal mengurai kemacetan Ibu Kota. Pembatasan kendaraan pribadi dengan memungut biaya untuk membangun infrastruktur dan menyubsidi angkutan umum massal dinilai bakal mengefisienkan ruang.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mewacanakannya sejak 12 tahun lalu. Namun, sampai kini belum ada titik temu.
Kamis (26/1/2017), setelah beberapa bulan menjadi polemik, Pemprov DKI Jakarta akhirnya memutuskan menghapus ketentuan tentang teknologi komunikasi jarak pendek (dedicated short range communication/DSRC) frekuensi 5,8 gigahertz (GHz). Ketentuan itu sebelumnya tercantum pada Pasal 8 Ayat (1) Huruf c Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 149 Tahun 2016 tentang Pengendalian Lalu Lintas Jalan Berbayar Elektronik.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai penetapan satu jenis teknologi itu berpotensi melanggar aturan tentang persaingan usaha karena membatasi peluang penggunaan jenis teknologi lain. Padahal, ada teknologi lain memungkinkan untuk program jalan berbayar elektronik (electronic road pricing/ERP), seperti radio frequency identification (RFID) dan global positioning system (GPS).
Ketua KPPU Syarkawi Rauf berpendapat, ketentuan Pasal 8 Ayat (1) Huruf c Pergub DKI No 149/2016 berpotensi melanggar Undang-Undang No 5/1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Oleh karena itu, KPPU merekomendasikan revisi Pergub DKI No 149/2016 atau menggunakan dasar hukum lain yang tidak bertentangan dengan aturan lain yang lebih tinggi.
Pergub DKI No 149/2016 juga dianggap tak sejalan dengan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terutama soal pengaturan sanksi dan pemungutan biaya. Sesuai UU ini, pengaturan sanksi dan pemungutan semestinya melalui peraturan daerah, bukan peraturan kepala daerah.
Terus molor
Tarik ulur program ERP terkait aturan tak hanya kali ini terjadi. Pada tahun 2009, rencana penerapan ERP ditunda karena kendala perundang-undangan. Pungutan kemacetan dianggap belum memiliki payung hukum. Sebab, tidak ada aturan yang mengizinkan pemungutan biaya kemacetan, bahkan kepada pengguna kendaraan pribadi yang dianggap turut menciptakan kemacetan.
Isu soal perlunya payung hukum bagi pungutan terus berlanjut. Pada Juni 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Pemerintah tentang ERP. Namun, produk hukum itu perlu aturan yang lebih teknis, antara lain dari Kementerian Keuangan menyangkut tarif, pengadaan alat, dan jenis pungutan apakah pajak atau retribusi.
Ketika itu, sejumlah investor tertarik menyediakan infrastruktur, baik sistem maupun teknologi. Empat perusahaan mengajukan proposal, yakni Mitsubishi Heavy Industries Ltd, Q-Free, Iforte Solusi Infotek, dan PT IBM Indonesia. ERP ditargetkan bisa diterapkan pada akhir 2011. Namun, sampai awal 2012, program itu belum terealisasi.
Selain payung hukum, model bisnis, dan pilihan teknologi, polemik dan tarik ulur soal ERP berkutat soal perlu tidaknya penyediaan angkutan umum sebelum penerapan. Polemik soal ini bahkan terekam sejak Pemprov DKI mewacanakan penerapan ERP pada akhir 2004. Terobosan ini dianggap mendesak karena kemacetan semakin parah, sementara pertumbuhan jalan dan jumlah kendaraan semakin timpang.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah berharap bisa segera merealisasikan ERP. Menurut dia, meski akhirnya menghapus klausul jenis teknologi dalam Pergub DKI No 149/2016, sederet pro-kontra selama ini justru menghambat penerapan ERP yang digagas sejak belasan tahun lalu. Padahal, ERP dianggap paling ideal untuk membatasi kendaraan pribadi.
Teknologi DSRC dipilih berdasarkan kebutuhan teknis perekaman dan pembayaran serta fungsi penegakan hukum lalu lintas melalui tilang elektronik. Sebab, ada problem kepatuhan di sebagian pengguna kendaraan pribadi di Jakarta. DSRC merupakan teknologi generik yang bisa diproduksi oleh banyak vendor dan sudah digunakan secara luas di Eropa, Asia, dan Amerika. "Kami hormati masukan (revisi), tetapi risikonya mundur lagi," kata Andri.
(MUKHAMAD KURNIAWAN)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Februari 2017, di halaman 26 dengan judul "Dua Belas Tahun Berpolemik soal Jalan Berbayar".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.