Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Apa yang Mendorong Banyak Orang Anti-Ahok?

Kompas.com - 10/02/2017, 21:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

PADA 2 Desember 2016, Ahmad Zakarsih, seorang pegawai administrasi di sekolah dasar, berusia tiga puluh empat tahun dan tinggal di Bekasi, pergi meninggalkan rumahnya sejak pukul 06.00 pagi menuju ibu kota DKI Jakarta yang berjarak 28 kilometer dari rumahnya.

Meski sudah menetap di Bekasi, dia memiliki KTP Jakarta, maka dia punya hak pilih pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, 15 Februari 2017.

Ahmad ikut dalam aksi protes terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang merupakan calon petahana dalam Pilkada ini.

Banyak yang menganggap Ahok telah menistakan Al-Quran saat kunjungan kerja di Pulau Seribu. Saat ini dia pun tengah menjalani persidangan kasus dugaan penodaan agama (sebuah tuntutan yang sangat serius), meski dia tetap diperbolehkan melanjutkan kampanyenya.

Ketika saya menanyakan mengapa dia ikut salah satu aksi protes terbesar di Indonesia itu, Ahmad menjawab dengan simpel, "Itu panggilan alam. Soalnya, Ahok sudah melecehkan Islam."

Meski itu alasannya, bukan berarti pada dasarnya Ahmad anti-Ahok.

Sebagai seorang lulusan pesantren Tebuireng—salah satu pesantren terkenal di Indonesia, yang didirikan oleh kakek Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia Nahdhatul Ulama (NU) ini—dan benar-benar memahami ilmu teologi dan filsafat Islam, Ahmad sangat percaya diri sebagai pria berpendidikan tinggi dengan gayanya yang sederhana.

Dia juga sering mengeluarkan lelucon-lelucon ala pembawa acara TV tengah malam.
Misalnya, dia menggambarkan Ciputat, daerah tempat kuliahnya dulu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, seperti Las Vegas yang penuh dengan segala macam godaan "mengerikan" – suatu gambaran yang sulit dipahami oleh mereka yang tidak tinggal di kawasan pinggiran Jakarta yang menjemukan ini.

Ahmad adalah orang Betawi, warga asli Jakarta. Betawi memiliki banyak tokoh terkenal, termasuk penyanyi dangdut legendaris, Rhoma Irama, yang penampilannya seperti Elvis Presley yang dikombinasikan dengan gaya khasnya.

Selama beberapa dekade, orang Betawi terus terpinggirkan dari pusat perkotaan Jakarta yang terus meluas, mereka harus menjual rumah mereka yang terletak di area strategis, dan sawah mereka kepada para pendatang baru dari suku Jawa, China, dan Arab.

Dapat dikatakan, sebagian besar orang Betawi ini dulunya adalah pendukung Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta yang dikalahkan Joko Widodo (Jokowi) pada Pilkada 2012, yang kemudian memenangkan kursi Kepresidenan pada Pemilihan Presiden 2014.

Ahok adalah pasangan Jokowi ketika pemilihan Gubernur itu. Karena itulah dia mewarisi jabatan Gubernur. Kelompok garis keras dalam masyarakat Betawi dapat dikatakan tidak pernah bisa akur dengan "para pendatang" ini.

Rumah keluarga Ahmad berada di sudut wilayah yang sedang "booming", Bekasi dengan penduduk 2,6 juta (kota dengan penduduk terbanyak keempat di Indonesia yang hampir tak seorang pun tahu), di sebuah lahan yang tersisa dari lahan kebun dan sawah yang dulu dimiliki keluarganya.

Dia menceritakan, "Sebelas saudara saya dan orang tua saya sudah pada ngejualin tanahnya untuk biaya sekolah. Tahun 1998, saya sekolah di Tebuireng, waktu itu biaya asrama dan sekolah masih murah cuma Rp 60.000 per bulan."

Setelah mendapatkan gelar sarjana, Ahmad bekerja di Siak, Riau, sebagai guru agama selama 4 tahun dan menikah di tahun terakhirnya (seperti sudah jodohnya, dia bahkan mengaku tidak berpacaran dulu dengan istrinya). Setelah menikah, dia kembali ke rumah keluarganya di Bekasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com