JAKARTA, KOMPAS.com - Puguh Winarko, "driver" GrabCar Indonesia, menolak revisi Peraturan Menteri (PM) Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Dalam revisi itu, Puguh menyoroti aturan soal batas tarif bawah-atas, kuota kendaraan dan kepemilikan kendaraan harus badan hukum.
"Sejak ada transportasi online, kami sudah nyaman. Kami sebagai rakyat kecil bisa kredit mobil, mandiri dan tak terikat perusahaan," kata Puguh di kantor Grab Indonesia, Jakarta Selatan, Jumat (17/3/2017).
Sebelum menjadi "driver" Grab, Puguh bekerja menjadi sopir di salah satu perusahaan taksi selama 18 tahun. Namun kondisi perekonomian dia tak berubah, mengontrak rumah berukuran kecil dan tidak memiliki mobil.
Sejak bergabung dengan Grab Indonesia, Puguh mulai kredit mobil dan rumah. Dia bercerita bahwa bekerja menjadi "driver" taksi online bisa menentukan keuangan sendiri.
"Sebagai warga negara, kami dukung aturan pemerintah, tapi kami juga keberatan kebijakan pemerintah yang rugikan "driver", terutama masalah tarif, balik nama dan pembatasan kuota," ujar Puguh.
Terkait pembalikan nama STNK atas nama badan hukum, Puguh mengatakan bahwa hampir 80 persen "driver" taksi "online" memiliki mobil secara kredit.
Kondisi ini akan sulit bila harus balik nama kendaraan dari atas nama pribadi menjadi badan hukum. Sebab, aturan kredit mobil tidak bisa membalik nama sebelum lunas. (Baca: Kekhawatiran Grab Indonesia terhadap Pembatasan Kuota Taksi "Online")
Puguh menambahkan aturan ini bertentangan dengan keinginan Presiden RI Joko Widodo yang mendukung ekonomi kerakyatan.
"Tolong Pak Jokowi revisi ini ditinjau. Kami pengemudi online menaruh harapan besar bisa menentukan pekejaan tanpa bergantung pada perusahaan," kata dia.