Oleh: RATIH PRAHESTI S
Nambo dulu dikenal sebagai hutan non-produktif yang berlokasi di kawasan Gunung Leutik di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Setelah 18 Agustus 2014, ada kesepakatan bahwa di lokasi itu dibangun tempat pengolahan dan pemrosesan akhir sampah regional, wajah Nambo berangsur berubah.
Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, Bupati Bogor Rachmat Yasin, Wali Kota Bima Arya, dan Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail pada Agustus 2014 menandatangani nota kerja sama kesepakatan membangun tempat pengolahan dan pemrosesan akhir sampah (TPPAS) regional di Nambo, Kabupaten Bogor.
TPPAS tersebut akan mengelola minimal 1.000 ton sampah per hari.
”Kami memakai teknologi ramah lingkungan, tidak ada pencemaran, tidak ada pemulung,” kata Kepala Balai Pengolahan Sampah Provinsi, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jabar, Edy Bahtiar kepada Kompas, Jumat (24/3).
Di tempat persinggahan terakhir sampah dari wilayah Bogor dan Depok ini, pintu gerbang masuk utamanya berlokasi di Kampung Curug Dengdeng, Desa Lulut, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, atau 6,6 kilometer dari pintu keluar Gunung Putri Tol Jagorawi.
Warga setempat mengenal kawasan bakal TPPAS Regional Nambo-Lulut, yang luasnya 55 hektar, ini sebagai kawasan atau blok Gunung Leutik. Seluas 40 ha, lahan itu masuk Desa Lulut. Semula lahan itu merupakan lahan hutan kurang produktif, milik Perum Perhutani Divisi Regional Jabar-Banten. Sisanya, 15 ha di Desa Nambo, adalah lahan milik Pemerintah Kabupaten Bogor.
Lahan di Nambo dipersiapkan Pemkab Bogor untuk Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Nambo, pengganti TPST Bojong, di Desa Bojong, juga di Kecamatan Klapanunggal. Sebab, Pemkab menyadari TPA Galuga di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, sudah tidak bisa diharapkan dapat menampung sampah dari Kabupaten dan Kota Bogor.
Apalagi kedua pemda ini kerap jadi bulan-bulanan masyarakat yang memprotes keberadaan dan pengelolaan TPA itu, terutama setelah dipastikan TPST Bojong yang dibangun PT Wira Guna Sejahtera, bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemkab Bogor, gagal beroperasi akibat penolakan masyarakat setempat, yang puncaknya berujung perusakan instalasi dan fasilitas terpasang, 4 Oktober 2004.
Kesiapan Pemkab Bogor menyediakan lahan ini mendorong Gubernur Jabar membangun kerja sama pembangunan TPA regional. Lokasi di kabupaten sudah tersedia, dan dipastikan Kalapanunggal dalam RUTR Kabupaten Bogor ditetapkan sebagai wilayah industri, termasuk industri pengelolaan sampah. Pengamatan Kompas, lokasi itu relatif jauh dari permukiman penduduk, tidak seperti lokasi TPST Bojong dahulu. Protes masyarakat tidak ada. Lokasinya tak jauh dari Stasiun Nambo.
Yang paling penting, selain di kawasan industri pertambangan, ada lahan ”nganggur” milik Perhutani itu, sehingga Pempov Jabar lebih mudah untuk mewujudkan perluasan tempat pengelolaan sampah pro lingkungan.
Sejumlah warga setempat yang ditemui Kompas menyatakan tidak keberatan di blok Gunung Leutik itu dibangun TPPS. Golib bin Animan (70-an), petani, mengaku memiliki 3 ha lahan garapan sawah dan ladang. ”Yang penting, lahan garapan saya diganti dengan harga wajar,” kata Golib di gubuknya, yang tidak jauh dari petak-petak sawah padi gogo.
Umar Ulung (40), Ketua RW 005 Kampung Curug Dengdeng, mengatakan, di luar Gunung Leutik, semua lahan dan gunung di Kalapanunggal sudah dimiliki dua perusahaan pertambangan. Namun, selama belum dimanfaatkan, masyarakat boleh masuk dan menggarapnya.
Beroperasi 2018
Proyek pembangunan TPPAS Regional Nambo-Lulut sebetulnya dibiayai dari empat sumber utama, yakni APBD provinsi, APBN melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan swasta.