Tangannya, meski sudah keriput di sana sini, masih cakap untuk memainkan roda mesin jahit model lama yang terus berputar sejak 1990.
Sutaryono atau biasa dipanggil Pakde Yono adalah salah seorang penjahit pakaian pinggir jalan yang bekerja di sekitar kawasan Matraman, Jakarta Timur.
Pakde Yono dikenal sebagai penjahit senior yang sudah cukup lama membuka lapak di kawasan tersebut.
Baca: Putar Uang dari Upah Buruh Bangunan, Kakek Ini Ajak Istri Naik Haji
Saat berbincang dengan Kompas.com, Kamis (10/8/2017), Yono bercerita, profesi penjahit telah dia tekuni sejak 1990.
Sebelumnya, Yono bekerja di sebuah perusahaan konveksi. Namun, karena hasil bekerja di bawah orang lain tak mencukupi, Yono memberanikan diri untuk membuka usaha jasa jahit pakaian.
Berbekal keahlian serta uang tabungan hasil bekerja di perusahaan konveksi itu, Yono membeli sebuah mesin jahit bekas.
Sekitar tahun 1990-an, mesin tersebut dibelinya dengan harga Rp 25.000. Sampai sekarang, mesin itu masih bisa bekerja dengan baik.
Sesekali Yono hanya perlu memberikan oli agar mesin tetap bisa berputar dengan halus. Beberapa bagian mesin memang sudah terlihat berkarat.
"Masih sehatlah mesinnya, cuma perlu kasih oli, kalau enggak ya enggak licin," ujar Yono.
Yono mengatakan, puluhan tahun menekuni profesi penjahit di pinggir jalan, banyak tantangan yang dihadapi.
Selain harus bersaing dengan penjahit lain yang lebih mapan, tantangan lain adalah dari petugas ketertiban.
Menghadapi para petugas ini membuat Yono dan rekan-rekannya sesama penjahit harus pintar-pintar menghindar.
Baca: Maksum Kakek Pengayuh Becak Akhirnya Akan Naik Haji
Bila melihat petugas ketertiban sedang berkumpul, maka Yono bergegas melarikan mesin jahitnya.
Sayangnya, tak jarang Yono tertangkap dan mesin jahit miliknya dibawa para petugas. Jika itu terjadi Yono harus rela merogoh kocek untuk menebus mesih jahitnya.
"Yah, bayar Rp 50.000 nebusnya. Namanya mesin buat cari makan, ya harus ditebus. Kalau enggak ya enggak makan. Tapi sekarang enggak ada lagi trantip kok, udah aman," ujar Yono.
Yono menyampaikan, dari hasil menjahit, dia bisa menyekolahkan keempat anaknya hingga jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Penghasilan Yono sebagai penjahit tak menentu. Dalam sehari, rata-rata ada sekitar 8-10 pelanggan yang datang untuk menjahit pakaian mereka yang robek.
Sekali menjahit Yono diupah sekitar Rp 15.000 hingga Rp 30.000 tergantung banyaknya pakaian.
"Mau banyak mau dikit yang pasti tetap bersyukur. Rejeki ada di Tangan tuhan," kata Yono.
Baca: Tekun Mencicil dari Gaji Rp 350.000, Kakek Penjaga Masjid Naik Haji
Selain bisa menyekolahkan keempat anaknya, dari hasil keringatnya itu Yono menyisihkan uang sedikit demi sedikit.
Uang yang dikumpulkannya itu digunakan untuk mewujudkan keinginannya menunaikan ibadah haji.
Uang tabungannya selama bertahun-tahun itu dibelikannya sebidang tanah di kampung halamannya Kebumen, Jawa Tengah.
Beberapa tahun lalu, tanah tersebut dia jual dan hasil penjualannya digunakan untuk menunaikan ibadah haji.
Yono mendaftarkan diri untuk berangkat haji pada 2014 dan rencananya dia akan menuju ke Tanah Suci pada 2019.
Yono meyampaikan, niatnya untuk berangkat haji sudah terpikirkan sejak 2002 atau sebelum sang istri, Siti Siswayati meninggal dunia.
Namun, karena saat itu keempat anaknya masih kecil, maka almarhum istrinya mengurungkan niat untuk berangkat haji.
Baca: Menabung Rp 10.000 Tiap Hari, Nenek Penjual Bubur Ini Naik Haji
Pada 2011, Siti meninggal karena penyakit maag akut. Meski tak bisa bersama dengan istrinya menunaikan ibadah haji, Yono akan membawa doa-doa dan harapan sang istri ke Tanah Suci.
"Inginnya pergi sama istri, eh dianya sudah berpulang. Saya selalu berdoa untuk dia," ujar Yono.
https://megapolitan.kompas.com/read/2017/08/10/16442841/27-tahun-kumpulkan-uang-hasil-menjahit-sutaryono-akan-naik-haji