Salin Artikel

Nikmatnya "Elevated Busway" Ciledug-Tendean, Kemewahan Tiada Tanding

Hari-hari terakhir ini, saya merasa jadi penumpang istimewa transjakarta koridor 13 rute Ciledug-Tendean, berangkat dari rumah di kawasan CBD Ciledug ke kantor saya di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Saya dapat kursi karena memang naik dari halte pertama di Puri Beta.

Sambil menikmati pemandangan ibu kota dari elevated busway, saya berimajinasi, seharusnya dahulu kala transportasi publik menjadi tools keberpihakan pemerintah kepada warga negaranya, dan bukan kepada investor asing yang kini merajai konglomerasi industri otomotif kendaraan pribadi. 

Nah, dalam tempo kurang dari 30 menit, saya sudah sampai di  halte Jalan Kapten Tendean yang berjarak 15 kilometer dari Puri Beta, berjalan kaki ke halte Tegal Parang pindah transjakarta, dan tak lama pula saya sampai di halte Slipi .

Sebagai warga megapolitan Ibu Kota, baru kali ini saya merasa kemewahan luar biasa agar mudah menembus kemacetan Ibu Kota yang killing fields.

Selama ini dari rumah di Ciledug ke Slipi, saya membutuhkan 2 jam sampai 2,5 jam agar sampai kantor di Slipi bila bawa mobil, dan kini cukup 1 jam sambil bisa berimajinasi liar karena tidak berada di belakang kemudi mobil.

Saya melakukan penghematan mobilitas dari sisi waktu dan juga ongkos transportasi ke tempat kerja.

Dahulu, tahun 1995 ketika pertama kali bermukim di Ciledug, kawasan ini masih tempat “jin buang anak”. Dari Ciledug ke kantor RCTI di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, dan itu berjarak 11 km, tak sampai 30 menit.

Namun citra buruk Ciledug sebagai kawasan macet, selalu saja mendengung saat teman-teman tahu saya bermukim di Ciledug. Padahal saya yang menjalani setiap hari kerja paham betul jalan tikus sehingga perjalanan lebih efisien ke Tendean.

Bermukim di Ciledug, rasanya tak “bergengsi”, namun bagi saya yang menikmati gaya hidup proletar, sejak lama “gengsi” itu menjerit saya injak-injak. Efisiensi suatu kawasan, efektivitas dari sisi keterjangkauan, dan penghargaan terhadap mobilitas waktu, jauh lebih valuable dari sekedar prestise.

Dan kini, buah bermukim 22 tahun di Ciledug, saya nikmati. Karena ada fasilitas elevated busway yang bernilai investasi Rp 2,3 triliun dan penumpang cukup membayar Rp 3.500 sekali jalan.

“My house investment @Ciledug has return and getting capital gain at this moment”, kata saya kepada seorang kolega berkebangsaan asing. “Because government has facilitated me infrastructure elevated busway, acces to busssines distric of CBD Jakarta very clear now.”

Si bule cuma manggut-manggut sebab ia tak paham detilnya jalan Ibu Kota. Wow, Rp 2,3 triliun buat jalan layang 9,3 kilometer, plus 5 kilometer jalur umum dirampas ke Puri Beta karena perencanaan tata kota show-off dari awal.

Bus bongsor tak bisa memutar di shelter Adam Malik, dan akhirnya Pemprov DKI harus berbaik-baik dengan Pemerintah Kota Tangerang agar transjakarta dapat akses memutar arah di perumahan Puri Beta.

Ketergantungan itu dimanfaatkan secara cerdik oleh Wali Kota Tangerang Arief Wismansyah, sebab secara kilat ia dapat konsesi jalur transjakarta akan diperpanjang sampai ke Poris di kawasan Tangcity.


Luar biasa hikmah di balik kecerobohan, dan warga Ciledug yang selama puluhan tahun jalan rayanya dibiarkan killing fields bagi pemobil seperti saya, layaknya dapat durian runtuh.

Tapi keberuntungan yang paling penting, harga tanah di Ciledug memang tidak meroket edan seperti tetangga elitenya yang dikuasai konglomerat properti di Bintaro, Graha Raya, Alam Sutra, BSD City, Green Lake City, Puri Indah.

Sebab tidak ada lagi kawasan kosong yang bisa dipermainkan konglomerat dan spekulan supaya leluasa menjungkir-balikkan harga propert di Ciledug. Kawasan Ciledug kini padat pemukiman warga, hunian vertikal seperti apartemen pun jadi ceruk pasar bagi pengembang.

Ciledug telah jadi kota, bukan sekadar kecamatan. Outlet dan showroom mobil menjamur. Pusat jajan makanan mirip Newton Circle bertebaran, waralaba dari negara Paman Sam merebak di tepi jalan.

Ada pula berkah lainnya, warga Ciledug bila hari libur mudah menjangkau fasilitas publik dan arena leisure di kawasan elite sekelilingnya yang sangat dekat, sebab Ciledug berada di jantung kawasan mewah tersebut.

Ingatan saya mundur jauh ke belakang. Sudah lama saya bermimpi sebagai warga negara republik, dan mungkin mimpi saya juga jadi mimpi ribuan, bahkan jutaan warga negara lainnya.

Sambil berimajinasi ke masa lampau, saya teringat penugasan homebase permanen pertama saya sebagai jurnalis RCTI di Batam, tahun 1994. Batam yang sangat berkembang secara infrastruktur dan ekonomi, tetap saja sumpek.

Ia tak lebih dari suburb area of Singapore. Dengan modal KTP dan paspor yang diterbitkan imigrasi Batam, saya tak perlu bayar pajak fiskal bila plesir ke Singapura atau Johor Bahru Malaysia.

Di sini, saya iri dengan negeri jiran, sebab pemerintahnya sangat berpihak kepada kepentingan publik, khususnya transportasi kota. Pasti saya sempatkan naik ferry 30 menit ke negeri jiran, sedikitnya satu kali dalam sebulan, hanya buat mengecup ice cream cup di Orchad Road, dan saya tidak pernah menginap sebab mahalnya ongkos hotel.

Naik bus, atau MRT bawah tanah di Singapura, dan seperti kota-kota megapolitan dunia yang pernah saya singgahi, sangat nyaman, mempersempit ketimpangan ekonomi dan sosial orang super kaya dan si melarat yang hidupnya papa.

Di Singapura naik bus atau MRT jauh lebih hemat ketimbang menunggang mobil pribadi atau cari tumpangan taksi, dan yang terpenting tetap punya dignity.

Nah, hari-hari ini, saya membayangkan dari atas elevated busway, di masa depan nantinya, keberpihakan kepada transportasi publik benar-benar diwujudkan dalam porsi lebih besar lagi.


Apalagi sampai kini saya masih mendengar umpatan kesal teman-teman yang bermukim di kawasan Bekasi, atau Cibubur, karena jalan tol yang menghubungkan dengan Jakarta sering “lumpuh”.

Kemewahan luar biasa bagi saya bila harus menemui klien di kantornya di Jalan Sudirman, kawasan bisnis Kuningan, atau kawasan SCBD, sebab saya cukup naik transjakarta dari Slipi karena ada aturan shocking ganjil-genap plat mobil.

Jauh lebih efisien, apalagi sopir ojek online selalu ramah melayani saya bila terpaksa harus menggunakan jasa mereka.

Dalam hati terdalam, saya berteriak, I love you, Ciledug! I love you transjakarta. 

Mobil sport utility vehicle buatan Amerika Serikat yang saya beli lima tahun lalu, kini sering “bercucur air mata” di garasi, sedih ditinggal sama pemiliknya, sebab ia tak punya lisensi naik ke jalan layang busway.

Berbeda dengan si bongsor buatan Swedia yang kini rajin saya tumpangi sambil berimajinasi warga negara republik tak hanya sumber obyek suara saat pesta demokrasi lima tahunan.

Sebab bagi saya, pemerintah selama ini hanya pintar memeras pajak dari warganya, tapi birokrasi mereka bukan pelayan terhormat bagi hak-hak publik warga negaranya, termasuk dalam urusan transportasi.

Akal sehat saya terganggu saat pemerintah menciptakan kesenjangan luar biasa di bidang ekonomi dan sosial, sebab meliberalisasi pasar sambil berpura-pura pro-rakyat kecil.

Sesungguhnya kebijakan undang-undangnya tak sedikit yang mencederai cita-cita luhur para pendiri bangsa, bahkan banyak praktik perilaku aparatnya sangat tidak mengayomi rakyat berskala ekonomi kecil.

Saya hanya mampu menjerit di dalam hati. Hak saya hanya mengutuki diri sendiri sambil membayangkan suatu hari nanti dapat menikmati ice cream cup secara leluasa di pinggir Jalan Sudirman-Thamrin, dan tetap merasa punya dignity di tengah lalu-lalang warga negara asing.

Wow, perlahan hati saya lebih terhibur. Jakarta telah memulai debutnya dengan transjakarta. Kini digarap pula MRT, LRT, semua dalam tahap finishing. Hebat!

Memang, paradigma bangsa ini harus berubah dalam kebijakan transportasi publiknya, bila tidak warga negaranya hanya akan jadi “penumpang gelap” di seberang gedung-gedung pencakar langit milik korporasi raksasa dari negara Paman Sam, Tiongkok, Hongkong, Korea, Jepang, Inggris.

Pemerintahan boleh datang dan pergi, tapi negara dan bangsa ini harus selalu berdaulat, dan warga negaranya tetap kelas satu di Tanah Air-nya.

Pagi di hari Senin 21 Agustus, saya terpaksa membawa mobil, sebab harus menemui calon klien yang tak terjangkau jalur transjakarta. Dari rumah start awal pukul 05.57 Wib, mengantar ponakan Aditya ke sekolahnya di SMA 3 Kota Tangerang di Ciledug yang memang harus saya lewati.

Mau tau hasilnya? Saat saya memasuki gerbang parkir office building Wisma Sejahtera di Slipi, karcis parkir menunjuk pukul 08.02.59 Wib. It’s a crazy traffick jam!

Hati saya nelangsa. Berapa jam lagi waktu yang harus saya kuras sia-sia untuk sampai di kantor klien nantinya…

https://megapolitan.kompas.com/read/2017/08/23/15254481/nikmatnya-elevated-busway-ciledug-tendean-kemewahan-tiada-tanding

Terkini Lainnya

PDI-P Mulai Jaring Nama Cagub DKI, Ada Ahok, Basuki Hadimuljono hingga Andika Perkasa

PDI-P Mulai Jaring Nama Cagub DKI, Ada Ahok, Basuki Hadimuljono hingga Andika Perkasa

Megapolitan
KTP 8,3 Juta Warga Jakarta Bakal Diganti Bertahap Saat Status DKJ Berlaku

KTP 8,3 Juta Warga Jakarta Bakal Diganti Bertahap Saat Status DKJ Berlaku

Megapolitan
Jasad Perempuan Dalam Koper di Bekasi Alami Luka di Kepala, Hidung dan Bibir

Jasad Perempuan Dalam Koper di Bekasi Alami Luka di Kepala, Hidung dan Bibir

Megapolitan
Dukcapil DKI: Penonaktifan NIK Warga Jakarta Bisa Tekan Angka Golput di Pilkada

Dukcapil DKI: Penonaktifan NIK Warga Jakarta Bisa Tekan Angka Golput di Pilkada

Megapolitan
Polisi: Mayat Dalam Koper di Cikarang Bekasi Seorang Perempuan Paruh Baya Asal Bandung

Polisi: Mayat Dalam Koper di Cikarang Bekasi Seorang Perempuan Paruh Baya Asal Bandung

Megapolitan
Pembunuh Wanita di Pulau Pari Curi Ponsel Korban dan Langsung Kabur ke Sumbar

Pembunuh Wanita di Pulau Pari Curi Ponsel Korban dan Langsung Kabur ke Sumbar

Megapolitan
Keluarga Ajukan Rehabilitasi, Chandrika Chika Cs Jalani Asesmen di BNN Jaksel

Keluarga Ajukan Rehabilitasi, Chandrika Chika Cs Jalani Asesmen di BNN Jaksel

Megapolitan
Warga Duga Ada Praktik Jual Beli Rusunawa Muara Baru Seharga Rp 50 Juta oleh Oknum Pengelola

Warga Duga Ada Praktik Jual Beli Rusunawa Muara Baru Seharga Rp 50 Juta oleh Oknum Pengelola

Megapolitan
Pemprov DKI: Restorasi Rumah Dinas Gubernur Masih Tahap Perencanaan

Pemprov DKI: Restorasi Rumah Dinas Gubernur Masih Tahap Perencanaan

Megapolitan
Harga Bawang Merah Melonjak, Pedagang Keluhkan Pembelinya Berkurang

Harga Bawang Merah Melonjak, Pedagang Keluhkan Pembelinya Berkurang

Megapolitan
NIK Ratusan Ribu Warga Jakarta yang Tinggal di Daerah Lain Terancam Dinonaktifkan

NIK Ratusan Ribu Warga Jakarta yang Tinggal di Daerah Lain Terancam Dinonaktifkan

Megapolitan
Wakil Ketua DPRD Niat Bertarung di Pilkada Kota Bogor: Syahwat Itu Memang Sudah Ada...

Wakil Ketua DPRD Niat Bertarung di Pilkada Kota Bogor: Syahwat Itu Memang Sudah Ada...

Megapolitan
Saksi Sebut Hujan Tak Begitu Deras Saat Petir Sambar 2 Anggota TNI di Cilangkap

Saksi Sebut Hujan Tak Begitu Deras Saat Petir Sambar 2 Anggota TNI di Cilangkap

Megapolitan
PAN Sebut Warga Depok Jenuh dengan PKS, Imam Budi: Bagaimana Landasan Ilmiahnya?

PAN Sebut Warga Depok Jenuh dengan PKS, Imam Budi: Bagaimana Landasan Ilmiahnya?

Megapolitan
Ketika Kajari Jaksel Lelang Rubicon Mario Dandy, Saksi Bisu Kasus Penganiayaan D di Jaksel

Ketika Kajari Jaksel Lelang Rubicon Mario Dandy, Saksi Bisu Kasus Penganiayaan D di Jaksel

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke