Sebab, perusahaan tempatnya bekerja melarang penggunaan fake GPS.
"Itu (pakai fake GPS) salah satu yang paling dilarang. Konsekuensi fatalnya bisa diputus kemitraannya oleh perusahaan," kata Joko, Jumat (2/2/2018).
Ia memilih bekerja jujur daripada meraup keuntungan dengan berbuat curang. Berbeda dengan Joko, Affan, seorang pengemudi ojek online asal Bekasi mengaku tidak pernah menggunakan fake GPS.
Meski aplikasi itu memudahkannya mendapatkan penumpang, ia tetap mengedepankan kejujuran selama mencari nafkah di jalanan Ibu Kota.
"Saya tahu aplikasi dan cara kerjanya, tetapi saya tidak pernah pakai itu. Alasannya, karena enggak jujur sih, kasihan juga sama teman-teman yang sudah lama mangkal di sana," kata Affan saat ditemui di kawasan Wijaya, Jakarta Selatan.
Ridwan, pengemudi ojek online lainnya, mempunyai pandangan berbeda soal fake GPS. Ia mengaku masih menggunakan aplikasi tersebut, namun hanya saat dibutuhkan.
"Misalnya kalau di Sudirman atau Kuningan dan kami mesti berputar, itu sangat jauh dan macet. Kalau kami lama, kami pasti di-cancel penumpang dan itu sangat menyakitkan buat kami," ujar Ridwan.
Meski demikian, mereka menegaskan tidak pernah membuat order fiktif dengan aplikasi "tuyul". Menurut mereka, hal itu merupakan sebuah bentuk kecurangan.
"Kita cari uang itu seharusnya kerja. Kalau hanya duduk, lalu dapat uang itu namanya bukan kerja, tetapi curang," kata Ridwan.
Sebelumnya, polisi menangkap sejumlah oknum pengemudi taksi online yang membuat orderan fiktif atau "tuyul". Dengan membuat orderan fiktif, mereka disebut dapat memperoleh uang hingga Rp 10 juta dalam satu bulan tanpa harus mengangkut penumpang.
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/02/02/20445801/cerita-pengemudi-ojek-online-yang-berhenti-gunakan-fake-gps