Tiga kuasa hukum Ahok, yaitu Fifi Lety Indra, Josefina Agatha Syukur, dan Daniel hadir saat sidang dimulai.
Dalam persidangan tersebut empat jaksa penuntut umum juga hadir, yaitu Sapta Subrota, Lila Agustina, Ardito Muwardi, dan Fedrik Adhar.
Mulyadi menjelaskan, Ahok tidak wajib hadir dalam persidangan. Ketentuan itu tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tentang Pemberlakuan Rumusan Kamar Pleno Pidana MA. Dalam Pasal 3 tertulis, pemohon diperbolehkan diwakili oleh kuasa hukum.
Mulyadi kemudian meminta kuasa hukum Ahok untuk menyerahkan memori PK. Ada 156 lembar memori PK yang diserahkan Fifi yang merupakan adik kandung Ahok.
JPU yang diwakili Lila memberikan pendapat JPU terkait pengajuan PK tersebut. Dalam persidangan tersebut disepakati memori PK dan pendapat JPU tidak dibacakan.
JPU dalam persidangan itu menyatakan tidak ada bukti baru. Itu berarti tidak akan ada persidangan lanjutan. Hakim hanya perlu memeriksa kedua dokumen tersebut untuk nantinya dikirimkam ke MA.
Mulyadi mengatakan, yang berhak memutuskan PK diterima atau ditolak adalah MA.
"Majelis di sini tidak berkewenangan mengabulkan PK Ahok. Kewenangan mengabulkan ada di tangan MA. Kami di sini hanya memeriksa, memenuhi syarat formalitas saja," kata Mulyadi.
Ahok mengajukan PK pada 2 Februari 2018. Dalam memori banding yang diajukan, Ahok membandingkan putusan vonis penjara yang dijatuhkan majelis hakim terhadap Buni Yani di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jawa Barat, dengan vonis yang diberikan kepadanya.
Majelis hakim di PN Bandung menilai Buni Yani secara sah dan terbukti melakukan pemotongan video Ahok di Kepulauan Seribu. Akibat video itu, Ahok melalui proses persidangan dan dinyatakan bersalah. Ahok divonis dua tahun penjara oleh majelis hakim. Sementara Buni Yani divonis 1,5 tahun karena dianggap melanggar UU ITE.
Ahok dalam memori PK itu juga menyebutkan, majelis hakim di PN Jakarta Utara yang mengadili perkaranya khilaf atau keliru dalam membuat putusan.
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/02/26/11374101/sidang-pk-digelar-tanpa-kehadiran-ahok