Rentetan kasus kriminal terkait perbankan ini membuat nasabah waswas akan keamanan data mereka.
Berbeda dengan teknik skimming yang harus menggunakan alat khusus yang dipasang di lubang insert card untuk merekam data nasabah, pada kasus pembobolan kartu kredit, data lengkap nasabah tersaji dengan harga yang tak terlalu mahal.
Bayangkan saja, pembobol hanya perlu mengeluarkan uang Rp 1 juta untuk mendapatkan 1.000 data nasabah meskipun belum tentu data nasabah yang dibeli dari situs jual beli data tersebut valid.
Data nasabah tersebut bisa didapatkan dari situ web, salah satunya temanmarketing.com. Situs web ini milik pria berinisial IS yang ditangkap polisi.
Dalihnya, data nasabah itu ditujukan untuk para tenaga pemasaran yang hendak mempromosikan produknya.
Panit 2 Unit 2 Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKP Abdul Rohim mengatakan, data nasabah yang dijual IS berisi nama lengkap, nama ibu kandung, nomor telepon, dan data lain yang bersifat sangat pribadi milik nasabah.
Mengaku dapat dari forum
Kepada polisi, IS mengaku mendapatkan ribuan data nasabah dari pihak lain yang juga memperjualbelikan data melalui situs web.
Tidak hanya itu, IS mengaku mendapatkan sebagian data nasabah dari sebuah forum di Kaskus. Namun, setelah ditelusuri, semua sumber yang dimaksud nihil.
Abdul menyampaikan, saat ini pihaknya tengah melakukan penelusuran kepada pihak internal bank.
"Kami periksa, termasuk marketing bank yang kemungkinan memegang informasi database nasabah," kata dia saat ditemui, Selasa (17/4/2018) malam.
Meski demikian, hingga kini belum ada pihak yang dicurigai sebagai "biang bocor" data nasabah bank tersebut.
Cerita korban
Seorang nasabah bank, D, menjadi korban pembobolan kartu kredit. Ia bahkan tak mengalami tanda-tanda penipuan seperti adanya pihak yang meminta kode-kode khusus untuk membobol kartu kreditnya. Namun, tiba-tiba saja ia mendapatkan tagihan Rp 55 juta.
"Awalnya saya curiga karena ada tagihan telepon datang ke rumah saya. Padahal, saya tidak pernah menggunakan operator telepon tersebut dan tidak pernah membayar tagihan telepon dengan kartu kredit," ujar D saat dihubungi Kompas.com, Selasa malam.
Kecurigaan D bertambah karena biasanya, kalaupun ia menggunakan kartu kredit untuk bertransaksi, ia akan menerima pemberitahuan melalui e-mail.
D mengatakan, dalam kurun waktu sebulan, ia tak pernah menggunakan kartu kreditnya. "Makanya, kok, heran tiba-tiba ada tagihan. Karena jarang pakai kartu kredit, saya juga enggak tahu waktu itu kartu kredit saya masih bisa digunakan atau tidak," ujar D.
Dengan berbagai kecurigaan tersebut, D melaporkan hal ini kepada pihak bank. Sesampainya di bank, ia terkejut saat ditunjukkan daftar tagihannya yang mencapai Rp 55 juta.
Setelah ditelusuri, ternyata ada seseorang yang mengaku sebagai D telah mengganti kartu kredit meski masih atas nama D dengan dalih kartu rusak melalui telepon.
Namun, alamat pengiriman kartu tak sesuai dengan alamat asli D. Bahkan, kata petugas, pembobol itu menaikkan limit kartu kredit D.
Beruntung, pihak bank tak meminta D membayar tagihan itu dan segera memblokir kartu kredit D untuk segera diperbaiki.
Dalam kasus D, tentu sebagai nasabah ia tak dapat mengontrol kerahasiaan datanya karena pembobol melancarkan aksinya langsung kepada pihak bank.
Berbagai imbauan disampaikan kepada para nasabah, mulai dari larangan menginformasikan kode pribadi hingga mengklarifikasi informasi perbankan ke kontak resmi bank.
Namun, menjadi masalah jika segala imbauan telah dilakukan, tetapi keamanan data tetap tak sepenuhnya terjamin.
"Kami akan terus telusuri kasus-kasus ini. Kami juga telah menjalin kerja sama dengan pihak bank untuk terus meng-upgrade sistem keamanan data nasabahnya," ujar Abdul.
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/04/18/10334711/skimming-pembobolan-kartu-kredit-dan-rentannya-data-nasabah-bocor