Ia menilai seharusnya gugatan tersebut perlu dipertimbangkan MK, karena saat ini warga semakin membutuhkan ojek online.
"Kalo ngomong ojek online bukan angkutan umum, tetapi sekarang buktinya orang lebih butuh ojol apalagi Jakarta macet, ojek, kan, lebih gesit dan praktis," kata Agus kepada Kompas.com, Kamis (28/6/2018).
Senada dengan Agus, pengemudi ojek online lainnya, Ian Anggara juga mengatakan, gugatan tersebut bisa dipertimbangkan MK.
Ojek online, kata dia, bukan hanya membawa penumpang, tetapi juga barang dan makanan.
"Kalau soal keselamatan, kami safety, semua punya helm kalau motor. Semua berkas berlaku dan sudah diperiksa sebelum masuk (mendaftar ojek online)," ujar Ian.
Dengan demikian, ia tidak sepakat dengan putusan MK yang menganggap sepeda motor bukan kendaraan yang aman untuk angkutan umum.
Ia mengatakan, pengemudi melalui sejumlah tes dari perusahaan sebelum resmi menjadi pengemudi ojek online.
"Lagian sebelum kami masuk sudah dites safety riding, semua berkas lengkap, SIM segala macam, semua alat ngojek kami lengkap," katanya.
Meski demikian, ia tidak terlalu khawatir dengan gugatan yang ditolak MK.
Ia justru merasa khawatir jika pemerintah ikut mengintervensi berbagai kebijakan perusahaan ojek online, seperti penerapan tarif.
"Kalo transportasi online, kan, sekarang lebih marak. Saya takutnya malah tarif gitu-gitu jadi diatur pemerintah," ujarnya sembari tertawa.
Sebelumnya, MK memutuskan menolak melegalkan ojek online sebagai alat transportasi umum.
Putusan ini diambil oleh MK terhadap uji materi perkara Nomor 41/PUU-XVI/2018.
Sebanyak 54 pengemudi ojek online yang menggugat Pasal 47 Ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) kepada MK.
Para pengemudi ojek online keberatan karena ketentuan pasal tersebut tidak mengatur motor sebagai angkutan umum.
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/06/28/21445611/sekarang-buktinya-orang-lebih-butuh-ojek-online-apalagi-jakarta-macet