Dalam unggahannya tersebut, ia menceritakan, istrinya yang bernama Yuniarti Tanjung (46) menderita sakit kanker payudara HER2 positif.
Sebulan kemudian, Yuniarti datang ke Puskesmas Duren Sawit, Jakarta Timur, untuk memeriksakan diri.
Dokter puskesmas kemudian merujuknya ke bagian spesialis penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Budhi Asih, Jakarta Timur.
Di RSUD Budhi Asih, dokter yang memeriksa Yuniarti mencurigai benjolan tersebut adalah kanker.
Edy menceritakan, karena tidak ada dokter spesialis kanker atau onkologi di RSUD Budhi Asih, pada awal Februari 2018, Yuniarti dirujuk ke RS Persahabatan, Jakarta Timur.
Di RS Persahabatan ini, Yuniarti menjalani biopsi atau pengambilan jaringan pada leher kanannya. Dan hasilnya, Yuniarti positif menderita kanker.
Menurut hasil pemeriksaan laboratorium Patologi Anatomi (PA) RS Persahabatan, kanker ini sudah menyebar dengan dugaan sumber utama berasal dari payudara.
Untuk memastikan dugaan itu, dokter yang menangani mengirimkan hasil pemeriksaan tersebut ke bagian laboratorium PA rumah sakit untuk diperiksa lebih teliti dengan pemeriksaan Imuno Histo Kimia (IHK).
Pada 10 Mei 2018, hasil IHK menunjukkan Yuniarti dinyatakan menderita kanker payudara HER2 positif yang sudah mengalami penyebaraan dan berada di stadium 3B.
Pada 24 Juni 2018, dokter memberikan tiga resep obat kemoterapi dan satu obat lain, yakni Herceptin atauTraztuzumab.
Permasalahan muncul ketika apotek RS Persahabatan menolak resep Herceptin atau Trastuzumab dengan alasan sejak 1 April 2018 obat ini dihentikan penjaminannya oleh BPJS Kesehatan.
Saat dihubungi Kompas.com, Edy menyampaikan harapannya agar pihak BPJS mengubah kebijakan ini.
Apalagi, menurut Edy, tanpa jaminan dari BPJS Kesehatan dirinya kesulitan membeli obat itu yang di pasaran harganya mencapai Rp 25 juta.
"Istri saya berkejaran dengan waktu. Tanpa Traztuzumab mungkin usianya sampai 1,5 sudah bagus. Tapi dengan Traztuzumab mungkin dia bisa bertahan 10 tahun seperti yang terjadi pada Aryanti Baramuli penderita kanker payudara HER2 positif yang bertahan hidup 15 tahun lebih berkat Traztuzumab atau Herceptin," kata Edy kepada Kompas.com, Selasa (17/7/2018).
"Harapan saya sebagai suami, saya ingin melihat istri saya masih bisa menyaksikan anak tunggal kami Arung selesai kuliah, diwisuda, dan menikah. Tapi, harapan kami ini mungkin terlalu muluk. Bisa jadi istri saya tak bisa terus hidup sampai vonis pengadilan," tambah dia.
"Namun, paling tidak BPJS mengubah kebijakannya dan memberikan Traztuzumab bagi penderita HER2 positif yang terdeteksi setelah istri saya. Biarlah istri saya saja yang menjadi martir atas ketidakadilan ini," ujar Edy.
Lebih jauh Edy melanjutkan, jika keluhannya tidak mendapatkan tanggapan dari BPJS Kesehatan, dirinya mempertimbangkan untuk mengambil langkah hukum.
Traztuzumab
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/07/18/06300031/obat-tak-lagi-dijamin-pasien-kanker-berencana-gugat-bpjs-kesehatan