Ia ingin DKI menguasai tiga pulau yang sudah terlanjur terbangun dengan mendirikan berbagai fasilitas publik di sana.
Sebelum mewujudkan keinginannya, Anies membuat sejumlah kebijakan. Berikut kebijakan Anies terkait reklamasi yang dilakukannya sejak menjabat Oktober 2017 lalu.
Tarik Raperda
Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) serta Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta (RTRKS Pantura) yang tengah dibahas Pemprov DKI bersama DPRD resmi ditarik Anies pada 13 Desember 2017.
Permintaan ini diajukannya pada 22 November 2018 dengan bersurat ke DPRD DKI Jakarta.
Alasannya, Anies ingin pasal-pasal yang termaktub dalam dua raperda itu sesuai dengan janji kampanyenya.
"Sesuai dengan visi serta janji kami untuk menata kawasan pantai utara Jakarta sebagai kawasan yang semaksimal mungkin dipakai untuk kepentingan publik," kata Anies pada 15 Desember 2017 silam.
Sebelum akhirnya dicabut, pembahasan dua raperda itu memang sudah dihentikan sementara sejak salah anggota DPRD DKI, Sanusi, tertangkap tangan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) menerima suap yang dilakukan Presiden Direktur Pengembang Pulau Reklamasi PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja.
Pemerintah pusat kemudian melakukan moratorium terhadap proyek reklamasi. Selama satu tahun, raperda itu mati suri dan tidak pernah dibahas lagi.
Pembahasan kemudian sempat akan dilanjutkan pada masa pemerintahan Djarot Saiful Hidayat. Saat itu, sanksi administratif terhadap Pulau C, D, dan G dicabut, moratorium pun dicabut secara keseluruhan oleh pemerintah pusat.
Atas dasar itu, Djarot Saiful Hidayat mengajukan surat ke DPRD DKI Jakarta untuk meminta agar melanjutkan kembali pembahasan dua raperda itu. Namun, langkah ini langsung dihentikan setelah Anies menjabat.
Minta HGB Dicabut
Akhir Desember 2017, Anies mengirimkan surat kepada Mengeri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil yang berisi permohonon agar BPN menunda dan membatalkan sertifikat hak guna bangunan (HGB) Pulau D.
Dalam surat itu, Pemprov DKI memohon agar kementerian tersebut mengembalikan seluruh dokumen yang telah diserahkan Pemprov DKI terkait perizinan reklamasi.
Anies mengirimkan surat tersebut karena menilai ada prosedur yang salah yang telah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya dalam proses perizinan reklamasi.
"Maka, kami akan lakukan Perda Zonasi dulu baru atur soal lahan dipakai untuk apa. Ini perdanya belum ada, tapi sudah keluar HGB. Ini urutannya enggak betul," ujar Anies, 9 Januari 2018 lalu.
Anies yakin, langkah yang diambil merupakan tindakan yang benar untuk memperbaiki aturan yang telah dilanggar. Anies juga akan menerima segala konsekuensi yang ditimbulkan bila BPN mengabulkan permohonannya tersebut.
Salah satu konsekuensinya adalah mengembalikan uang yang telah diberikan oleh pengembang pulau reklamasi terhadap bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) senilai sekitar Rp 483 miliar.
Sebelum mendapatkan sertifikat HGB pulau reklamasi, pengembang wajib membayar BPHTB. Salah satu pengembang yang telah membayar ialah PT Kapuk Naga Indah.
Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil menegaskan, BPN tidak bisa membatalkan sertifikat HGB pulau reklamasi yang telah diterbitkan.
Sofyan mengatakan, sertifikat HGB pulau reklamasi telah diterbitkan atas permintaan Pemprov DKI Jakarta dan telah sesuai ketentuan administrasi pertanahan yang berlaku.
Sertifikat itu tidak bisa dibatalkan karena adanya azas presumptio justae causa, yakni setiap tindakan administrasi selalu dianggap sah menurut hukum sehingga dapat dilaksanakan seketika sebelum dapat dibuktikan sebaliknya dan dinyatakan oleh hakim yang berwenang sebagai keputusan yang melawan hukum.
Pembatalan itu juga dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sofyan menyarankan Pemprov DKI Jakarta mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) apabila ingin membatalkan sertifikat tersebut.
Pada akhirnya, Anies tak pernah mengirim jajarannya ke PTUN untuk menggugat sertifikat itu. Gugatan malah diajukan sejumlah aktivis lingkungan dari Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta.
Gugatan ini ditolak PTUN dalam sidang eksepsi pada 15 November 2018 lalu.
Pasang Segel
Setelah menarik raperda dan memprotes BPN, nyaris tak ada lagi kebijakan terkait reklamasi yang terdengar. Baru pada 7 Juni 2018, Anies mengumumkan penyegelan bangunan di Pulau D.
Penyegelan dilakukan karena bangunan-bangunan di sana tidak memiliki izin pembangunan.
Ada sekitar 932 bangunan di Pulau D yang sudah berdiri. Bangunan itu terdiri dari 409 rumah, 212 rukan, serta 313 jadi satu unit rukan dan rumah tinggal.
Penyegelan ini bukan yang pertama kali. Tercatat pada 2014 dan 2016 Pemprov DKI Jakarta menyegel bangunan di Pulau D karena tak ada izin.
Tim dan Badan Khusus
Pada hari yang sama, yakni 7 Juni 2018, Anies mengundangkan Pergub tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta (BKP Pantura Jakarta).
BKP Pantura Jakarta disebut sebagai lembaga ad hoc dan bertanggung jawab kepada gubernur. Tugasnya adalah mengoordinaskan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penyelengaraan reklamasi Pantai Utara Jakarta, sekaligus terhadap pengelolaan hasil reklamasi dan penataan kembali kawasan daratan Pantai Utara Jakarta.
BKP Pantura Jakarta diketuai Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah. Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Gamal Sinurat menjadi wakil ketua dalam BPK Pantura Jakarta ini.
Di luar badan ini, Anies sendiri sudah punya tim khusus, yakni Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) Bidang Pengelolaan Pesisir. Tim khusus itu diketuai Marco Kusumawidjaja, ahli tata kota yang menjadi tim pakar Anies-Sandi saat kampanye.
Cabut Izin
Pada 26 September 2018, Anies mengumumkan pencabutan izin 13 pulau reklamasi. Proyek reklamasi itu dihentikan setelah Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta bentukan Anies melakukan verifikasi semua kegiatan reklamasi di Jakarta.
Hasil verifikasi menunjukkan, para pengembang yang mengantongi izin reklamasi tidak melaksanakan kewajiban mereka. Namun, Anies tidak merinci kewajiban-kewajiban apa saja yang tidak dilaksanakan para pengembang.
"Apa yang terjadi? Sebanyak 13 pulau yang sudah mendapatkan izin untuk dilakukan reklamasi, setelah kami lakukan verifikasi, maka gubernur secara resmi mencabut seluruh izin pulau-pulau reklamasi tersebut," kata Anies pada 26 September 2018 lalu.
Ketiga belas pulau tersebut yakni Pulau A, B, dan E (pemegang izin PT Kapuk Naga Indah); Pulau I, J, dan K (pemegang izin PT Pembangunan Jaya Ancol); Pulau M (pemegang izin PT Manggala Krida Yudha); Pulau O dan F (pemegang izin PT Jakarta Propertindo); Pulau P dan Q (pemegang izin PT KEK Marunda Jakarta); Pulau H (pemegang izin PT Taman Harapan Indah); san Pulau I (pemegang izin PT Jaladri Kartika Paksi).
Ada empat pulau reklamasi yang tidak dicabut izinnya, yakni Pulau C dan D (pemegang izin PT Kapuk Naga Indah), Pulau G (pemegang izin PT Muara Wisesa Samudra), dan Pulau N (pemegang izin PT Pelindo II).
Jakpro Jadi Pengelola
Anies menugaskan, PT Jakarta Propertindo mengelola Pulau C, Pulau D, dan Pulau G. Penugasan itu tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 120 Tahun 2018 yang baru disahkan pada 16 November 2018.
"Sebetulnya, secara total yang akan dikelola oleh Jakpro adalah sekitar 65 persen. Itu akan dikelola oleh Pemprov," kata Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (26/11/2018).
Berdasarkan isi Pergub, Anies menugaskan Jakpro mengelola tanah hasil reklamasi pantai utara Jakarta selama sepuluh tahun.
Tanah yang dimaksud adalah lahan kontribusi yang ada di setiap dari tiga pulau itu. Pengelolaan lahan kontribusi meliputi perencanaan, pembangunan, dan pengembangan prasarana untuk kepentingan publik atau fasilitas umum/fasilitas sosial.
Prasarana yang dimaksud antara lain rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah, pasar tematik ikan, restoran ikan, tempat ibadah, kantor pemerintah, dan dermaga.
Selain itu, pantai reklamasi juga bakal menjadi pantai pertama di Jakarta yang benar-benar gratis untuk publik.
“Jadi nanti warga Jakarta bisa punya pantai publik yang gratis, kalau sore bisa lihat sunset,” kata Anies.
Harapannya, akhir 2018 warga bisa mulai mengakses pantai ini atau saat Jakpro memulai tugasnya.
Adapun pendanaan pembangunan sarana dan prasarana bisa berasal dari modal perusahaan; patungan modal perusahaan dengan badan usaha lainnya yang sah; penyertaan modal pemerintah daerah; hibah yang sah dan tidak mengikat; pinjaman dan/atau bentuk pendanaan lain dari badan investasi pemerintah; dan atau bentuk pendanaan lain yang sah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tim Anies dan Jakpro saat ini sudah mengantongi perencanaan pengembangan pulau reklamasi. Rencana itu tengah divisualisasi.
Anies mengaku tak khawatir langkahnya ini bakal digugat pengembang. Sebab, ia tetap bakal mengizinkan pengembang untuk melakukan bisnisnya di 35 persen lahan pulau yang dibangunnya itu.
Ganti Nama
Nama Pulau C, D, dan G juga telah diganti menjadi Kawasan Pantai Kita, Kawasan Pantai Maju, dan Kawasan Pantai Bersama. Nama ini memang melekat dengan slogan kampanye Anies Sandi "Jakarta Maju Bersama".
Nama itu dipilih lantaran kawasan reklamasi tak punya sejarah dan diharapkan menampung semangat melihat ke depan.
"Karena itulah spirit yang ada di sini, ini adalah tempat yang baru sama sekali tidak ada sejarah karena itulah kita justru menengok ke depan. Ini adalah pulau kita untuk merasakan kemajuan bersama," kata Anies 26 November 2018.
Menurut Anies, ketiga tanah reklamasi itu tidak tepat disebut sebagai pulau lantaran masih masuk dalam kawasan Pulau Jawa. Pemberian nama baru ini segera dilakukan lantaran ia sudah memberi tugas PT Jakarta Propertindo untuk mengelolanya.
Selain itu, di kawasan reklamasi juga akan dibentuk kelurahan baru.
Saat ini, Pulau C dan D masuk dalam Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Sementara Pulau G masuk Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Anies memastikan kelurahan baru akan terbentuk setelah ada warga yang tinggal di sana.
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/11/27/09093061/perkembangan-pulau-reklamasi-di-tangan-gubernur-anies