Pertama, ia menyebut jumlah kendaraan bermotor di Jakarta semakin meningkat setiap tahunnya sehingga meningkatkan emisi kendaraan bermotor.
"Kita bisa melihat ya, kendaraan pribadi roda empat ataupun roda dua melebihi kapasitas Jakarta untuk menampungnya. Hampir tidak ada kontrol terhadap penambahan (kendaraan bermotor). Jadi, orang-orang makin mudah difasilitasi menggunakan kendaraan pribadi," kata Leonard saat dihubungi Kompas.com, Kamis (7/3/2019).
Faktor kedua adalah adanya pembangkit listrik tenaga uap batu bara dalam radius 100 meter di sekitar Jakarta.
Leonard menyebut, PLTU berkontribusi menyumbang 33-36 persen polusi udara di Jakarta.
"Greenpeace juga melihat di sekitar Jakarta dalam radius 100 kilometer, ada pembangkit listrkk tenaga uap batu bara. Jadi, itu juga menyumbang dengan serius untuk tingkat polusi udara di Jakarta," ujar Leonard.
Jakarta menempati puncak daftar kota paling berpolusi di Asia Tenggara pada tahun 2018 menurut hasil studi oleh Greenpeace dan IQ AirVisual yang dipublikasikan pada Selasa (5/3/2019).
Disebutkan, rata-rata harian kualitas udara di Jakarta dengan indikator PM 2.5 pada tahun 2018 adalah 45,3 mikrogram per meter kubik udara.
Adapun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan pedoman kualitas udara rata-rata harian 25 mikrogram per meter kubik udara.
"Rata-rata harian kualitas udara di Jakarta lebih buruk 4,5 kali lipat dari batas aman dan batas sehat yang ditetapkan oleh WHO. Angka itu juga meningkat dibanding tahun 2017 dimana rata-rata harian kualitas udara di Jakarta adalah 29,7," ujar Leonard.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/03/08/05170511/penyebab-tingginya-polusi-udara-di-jakarta-menurut-greenpeace-indonesia