Tanaman ini jadi perhatian setelah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan membagikan lidah mertua untuk mengatasi polusi udara di Ibu Kota.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, upaya yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta tidak hanya dengan membagikan tanaman lidah mertua secara gratis.
Ada cara lain yang juga akan dilakukan.
Sejumlah fakta terungkap mengenai lidah mertua, di antaranya kajian sejumlah ilmuwan dari Universitas Sydney dan Badan Antariksa Amerka Serikat (NASA) yang menyebutkan bahwa lidah mertua diyakini mampu menjadi anti-polutan di dalam ruangan.
Meski bermanfaat untuk menyerap polusi, penggunaan lidah mertua untuk mengurangi polusi di Jakarta dinilai kurang efektif.
Berikut 3 fakta lidah mertua, seperti dirangkum dari sejumlah pemberitaan Kompas.com:
1. Kurang efektif atasi polusi Jakarta
Pada 1989, NASA merilis artikel yang mengungkap bahwa lidah mertua mampu menyerap lebih dari 107 unsur polutan berbahaya.
Bahkan, pihak NASA juga merekomendasikan lidah mertua sebagai obyek penelitian untuk menyaring dan membersihkan udara di stasiun angkasa luar.
Namun, dari segi manfaat, ternyata lidah mertua bukan sebagai solusi dan dianggap kurang optimal untuk mengatasi polusi udara di Jakarta.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Ariyanu menilai, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya mengendalikan langsung sumber pencemarannya.
Sumber pencemaran itu seperti cerobong-cerobong yang mengeluarkan asap, knalpot kendaraan yang hitam, dan pengurangan sampah dengan cara dibakar.
Bondan mengusulkan agar Pemerintah DKI Jakarta turun langsung ke lapangan dan memaparkan sosialisasi kepada warga Jakarta mengenai bahaya membakar sampah.
Selain itu, pemerintah juga sebaiknya mengecek emisi apakah melebihi batas baku mutu kawasan industri atau tidak.
Menurut Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, sumber pencemaran udara yang paling banyak menyumbang polusi adalah transportasi darat.
2. Perangi sick building syndrome (SBS)
Lidah mertua disebut berguna untuk menghilangkan banyak racun di udara dalam ruangan, sehingga dapat menjadi solusi ramah lingkungan.
Sebelum dikaji lebih dalam oleh NASA, masyarakat AS mengalami fenomena sick building syndrome (SBS), karena tingginya biaya pemanasan dan pendinginan ruangan.
Dengan demikian, para arsitek berupaya membangun bangunan yang bisa menekan biaya pemanasan dan pendinginan dengan cara memaksimalkan energi.
Sayangnya, inovasi ini berdampak mengganggu kesehatan tubuh.
Penduduk AS menjadi kekurangan oksigen, saluran pernafasan terganggu, sinus, membuat mata gatal, ruam kulit, sakit kepala, hingga mengembangkan kanker tertentu.
Menyikapi banyaknya faktor risiko yang terjadi, NASA kemudian berkolaborasi dengan Associated Landscape Contractors of America (ACLA).
Dalam kolaborasi ini, mereka berfokus pada efek tanaman hias untuk mengurangi polusi udara dalam ruangan.
Studi mereka juga mempelajari efek dari ukuran daun tanaman, sistem akar mereka, tanah tempat mereka ditanam dan mikroorganisme yang tumbuh dalam tanah.
Faktor-faktor ini penting ketika mempertimbangkan apakah ada atau tidak dan seberapa banyak tanaman yang mamapu memengaruhi kualitas udara dalam ruangan.
3. Lidah mertua bukan pilihan terbaik
Meski NASA telah merilis artikel tentang lidah mertua yang mampu menyerap 107 polutan udara, tetapi NASA tidak pernah menyebutkan bahwa tanaman ini adalah pilihan terbaik untuk menyaring udara.
Menurut NASA, lidah mertua mampu berfungsi baik dengan menyerap polutan pada ruangan tertutup, tidak pada ruangan terbuka.
Para ilmuwan NASA mengungkapkan, tanaman hias dapat menyerap gas yang berpotensi berbahaya dan membersihkan udara dalam bangunan.
Sumber: Kompas.com/Gloria Styvani Putri, Nursita Sari
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/07/23/13003961/3-fakta-lidah-mertua-yang-jadi-proyek-pemprov-dki-atasi-polusi-udara