Salin Artikel

Berkaca dari Kasus Nunung: Selebritas, Narkoba, dan Tangis Penyesalan

Surat kabar, media online, program acara televisi, mengupas secara luas dari bermacam-macam sudut pandang.

Jagat media sosial seperti Facebook, Twitter, YouTube, tak kalah seru mengulik sisi yang berbeda, melakukan modifikasi, bahkan membesar-besarkan masalah secara tajam.

Di lain sisi, kita dapat merasakan aparat keamanan seperti kepolisian, menjadi pahlawan yang heroik. Polisi melakukan press conference, bahkan memberikan ruang kepada media tertentu untuk wawancara eksklusif dengan tersangka.

Pada kasus terbaru, tertangkapnya komedian Nunung atau Tri Retno Prayudati, atas dugaan pemakaian sabu, baru-baru ini, terkesan dramanya kian semarak.

Tangis berurai air mata, dan penyesalan tiada berhingga, membuat kita memiliki tudingan, “Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna.”

Sebagai warga negara, Nunung harus bertanggung jawab kepada perbuatan dirinya. Tiada pula yang perlu kita sedihkan berlarut-larut, toh Nunung akan dapat menjalani semua proses hukum, setelah kita menyaksikan ia begitu kooperatif.

Syukur bila permohonannya agar mendapat asesmen rehabilitasi, dikabulkan polisi. Satu hal yang patut saya sesali, sementara waktu saya kehilangan sosok Nunung sebagai penghibur di acara televise nasional.

Terus-terang, sosok Nunung di acara lawak, khususnya penampilannya di acara Ini Talkshow di Net TV, membuat saya sangat terhibur. Saya menemukan kesegaran, dan spontanitas yang lugas pada karakter maupun perannya.

Bagi saya ia jenius, talentanya melewati batas standar. Dulu, sebagai pekerja industri televisi, saya paham peran awak creative dalam menata cerita, karakter, plot, skenario acara, sangat besar bagi kesuksesan acara televisi.

Peran awak program demi suksesnya sosok Nunung, memang tak kalah heroik. Mungkin juga seperti kesan heroiknya polisi saat menggerebek rumah Nunung.

Tanpa sentuhan cerdas tim creative, komedian dapat terjerumus menjadi “garing” dalam lawakannya.

Saat Nunung membeberkan penyesalannya yang sangat dalam, saya berharap ia jujur, dan bukan sedang memerankan adegan drama. Tangisnya berurai air mata, semoga bukan tangis buaya darat yang siap memangsa.

"Saya minta maaf sama suami saya. Sebetulnya setiap hari, dia selalu mengingatkan saya 'kapan kamu berhenti'," ujar Nunung.

"Saya ingat tanggal 1 Juli kemarin pas bertepatan ulang tahun suami saya. Saya bilang sama suami saya, 'Yah, minta kado apa'. Suami saya cuma bilang 'saya cuma minta kado kamu berhenti'. Tapi (saya nggak dengerin)," kata Nunung kepada media.

Saya hampir tersedu, menahan tangis. Tayangannya di YouTube membuat mata saya berkaca-kaca. Begitu dramatis penyesalannya. Penyesalan dan tangis air matanya serasa hiburan yang berbeda, dalam wajah tragedi, dan semoga bukan komedi panggung.

Sejauh saya memahami, Nunung telah menjadi korban pergaulan lingkungan artis. Pergaulan sejumlah artis, kadang kala terkesan melewati batas normal, etika, dan menabrak aturan baku tata krama kesopanan.

Anehnya, supaya tetap eksis mereka butuh dukungan narkoba, termasuk sejenis golongan stimulus ampetamin. Sayangnya, orang seperti Nunung menjadi ketergantungan agar tetap percaya diri.

Industri media seperti televisi, tak jarang berlaku seperti drakula penghisap darah bagi talenta yang berhasil menjaga performance dan akurasi rating atau share pada saat si komedian tampil.

Era industri rating atau share, turut menjerumuskan sang artis, dan mungkin juga menjerumuskan pekerja media dalam versi berbeda. Tapi apa mau dikata, itulah faktanya, sang komedian pun rela dieksploitasi karena mereka juga suka aji mumpung.

Stamina harus terjaga. Uang gampang dicari bila ketenaran mencapai puncak. Gegar budaya membuat mereka gamang.

Toh Kalau penonton tak suka lagi, pemilik industri media akan menendang sang komedian ke keranjang sampah.

Sejauh yang saya pahami, Nunung juga salah satu korban jaringan narkoba yang akut. Sebagai anak bangsa, kita prihatin menghadapi serbuan pengedar, pemasok, bahkan bandar besar narkoba.

Para drakula itu jangan sampai melakukan kartel atas industri maupun perdagangan narkoba. Bila terjadi perang di antara kartel, korbannya yang lebih besar pastilah warga sipil.

Kita perlu belajar dari pengalaman Meksiko yang perang berkepanjangan, melibatkan aparat kepolisian dengan kartel setempat.

Polisi telah bekerja keras. Sejumlah bandar dan toke ditangkap polisi, tapi kita menduga, sejumlah bandar dan toke lain bermain mata dengan oknum yang dapat mereka jinakkan.

Ada yang harus mendapat evaluasi dalam soal pemberantasan narkoba, meski peran BNN (Badan Narkotika Nasional) dan kepolisian, terasa membantu pemberantasan.

Urusan di Kejaksaan dan Persidangan Pengadilan atas kasus narkoba, mungkin lain lagi. Kalau urusan oknum nakal, kita tahu di mana lembaga pun, selalu ada yang bertindak memanfaatkan jabatannya.

Fiksi Narkoba

Sudah sejak lama saya prihatin dengan peredaran narkoba, pemberantasannya seperti ayam dengan telur. Entah mana yang duluan atau lebih awal harus dilakukan.

Apakah Pak Polisi sebagai pengayom masyarakat harus menjadi sangat tegas seperti tindakan Presiden Rodrigo Duterte di Filipina? Bandarnya harus ditembak mati, meski menimbulkan reaksi aktivis hak asasi manusia.

Atau, aparat hukum yang memiliki kewenangan yang harus terus-menerus mendapat evaluasi dalam kebijakannya melakukan pemberantasan.

Atau mungkin, ada yang keliru di dalam sistem tata kelola negara kita. Suatu kali, saya pernah berbincang dengan seseorang yang mengaku dulunya kurir narkoba di Dumai, Riau.

Ia gamblang bercerita soal perannya, kehadiran oknum nakal, dan situasi perjalanan membawa narkoba dari Malaysia ke Dumai. Lautan kita begitu telanjang, bahkan tanpa pengawalan yang memadai.

Pinggir laut menjadi salah satu lokus untuk memasukkan narkoba seperti kasus penyeludupan sabu seberat 1 ton lewat laut, diangkut dengan Kapal Sunrise Glory di selat Philips, perbatasan antara Singapura dan Batam, Februari 2018 lalu.

Pengamatan yang panjang saat menjadi reporter dan eksekutif produser di televisi, mata rantai narkoba yang tak kunjung terbasmi, membuat saya tertarik mengulasnya dalam bentuk karya fiksi.

Dalam satu novel saya yang menunggu diterbitkan, Sangkar Burung Hantu, tema dan benang merah utamanya tentang seluk-beluk peredaran narkoba di Tanah Air.

Lokus ceritanya di Kampung Baru, Jakarta Timur, dan juga di Medan, Sumatera utara. Ini salah satu dialog cerita novel yang dapat saya paparkan:

***

“Kau tahu, baru saja terjadi lagi kehebohan di sini.”

“Kehebohan?”

“Polisi menjebak sindikat narkoba dan kaki-tangannya. Menangkap tiga orang pengedar kawakan,” kata Bondanang, berharap Ratih menerima ajakannya mengobrol.

“Pria yang satu berwajah gelap, rambutnya kriting. Pria satunya lagi tinggi, dan kurus—berkulit kuning langsat. Seorang lagi bertubuh gempal. Polisi menyeret ketiganya ke kantor polisi di Kayu Putih.”

Peredaran narkoba (narkotik, obat berbahaya dan psikotropika) menjadi momok menakutkan di berbagai sudut kota.

Ratih merasa terpancing. Katanya lunak, “Kok tidak pernah kapok-kapok—para pengedar narkotik laknat itu!”

“Mungkin hati nurani mereka telah kelu seperti kelunya lidah manusia dirasuki sifat-sifat jahat Iblis!”

“Oh, kiranya dengan penangkapan oleh Polisi—kampung kita lebih aman lagi ke depannya. Bila Polisi menyeret biang kerok jaringan pengedar ke markas mereka, seharusnya kejahatan pelanggar hukum dapat tertumpas habis sampai ke akarnya!”

“Biang kerok kejahatan narkoba, bukan cuma ketiga pengedar yang tertangkap! Di perkampungan ini masih banyak pengedar lain—merayap-rayap bersama kaki-tangan busuknya!”

“Kenapa ya sikap warga masa bodoh terhadap pelanggar hukum, Pak?”

Bondanang merasa dirinya tertantang.

Katanya, “Kau mungkin pernah mendengar analisis tentang rasa muak sebagian warga di sini menghadapi masalah-masalah domestik kehidupan dan problematika lingkungan rumah. Bagi mereka yang merasa muak, pekerjaan kasar sebagai bekal memenuhi kebutuhan nafkah keluarga—terasa berat menindih sehingga abai terhadap aspek lain seperti keamanan lingkungan rumah. Sampai pada satu titik jenuh yang menyebalkan, mereka terpaksa pasrah apapun kejadian buruk menimpa orang lain—asal bukan dirinya yang menerima kemalangan hidup.”

***

Sekalipun cerita tadi sebuah fiksi, tapi berdasarkan riset, analisa, dan pemahaman mendalam sebagai jurnalis.

Cerita sumir tentang penggerebekan oleh polisi, sudah sejak lama saya pahami. Penembakan bandit narkoba, tak jarang menguak sisi lain dari sebuah pertarungan ekonomi.

Rindu canda

Kembali ke Nunung, terus terang saya merasa membutuhkan kehadirannya sebagai komedian. Saya merindukan saat Nunung menyajikan kekenesannya yang menghibur.

Terus-terang, saya kehilangan Nunung, sudah lebih sepekan ia tak lagi muncul di Ini Talkshow. Memang, ya masih ada Sule ( Entis Sutisna ) dan Andrea Taulany yang tak kalah lucu.

Masih ada pemeran pendukung lain yang mulai naik daun. Tapi Nunung? Saya yakin, jutaan penonton lain butuh katarsis dari sosok dan lawakan Nunung.

Semoga kehilangan Nunung tidak selamanya. Canda nunung bagi saya, barangkali bagi jutaan pasang mata lainnya, sangat dirindukan.

Ketika Nunung menangis penuh penyesalan, sebenarnya tidak saya perlukan. Lebih enak ditonton bila Nunung melawak. Tangisnya terasa sebagai sensasi daripada ironi kehidupan yang getir.

Dulu, sebelum Nunung, koleganya dari Grup Lawak Srimulat juga terlibat penyalahgunaan narkoba. Sebutlah nama seperti Kabul Basuki alias Tessy, Margono alias Gogon, Christian Barata Nugraha alias Polo, dan Sudarmadji alias Doyok. Mereka menjalani hukuman, dan dapat berkarya kembali sebagai komedian seperti Tessy.

Bukan hanya komedian yang terjerat kasus penyalahgunaan narkoba. Artis tenar seperti Roy Marten, sampai dua kali terlibat di tahun 2006 dan 2007.

Artis lain seperti Ridho Rhoma, Pretty Asmara, Marcello Tahitoe alias Ello, rapper Iwa K, turut menjadi korban. Ada pula yang menjalani rehabilitasi seperti Tora Sudiro, dan aktor Tio Pakusadewo.

Ke depan, jangan-jangan sejumlah artis lain menunggu gilirannya tertangkap tangan.

Terlepas dari drama sinetron saat selebritas tertangkap polisi, agaknya Nunung patut dipuji. Sejauh pengamatan saya, sampai kini belum ada komedian wanita lain di televisi yang dapat menandingi stamina Nunung.

Ini eranya Nunung. Komedian wanita lain, relatif susah bangkit, bahkan terkubur sebelum ketenaran sampai puncak.

Karena itulah, talenta Nunung dibutuhkan. Nunung dapat membuat kita lupa kerumitan politik mutakhir Tanah Air, berita hoaks yang sukar dibasmi, dan aneka problematik kehidupan yang kian menyiksa kita sebagai bangsa.

Nunung, saya meindukan candamu, bukan tangis penyesalan berurai air mata! Sayangnya, sekali lancung ke tujuan, apa guna sesal kemudian. (Mulia Nasution, penulis pernah bekerja sebagai jurnalis untuk The Jakarta Post, RCTI, Trans TV. Pernah bergiat menulis puisi, cerita pendek, novel, opini. Novelnya Rahasia Tondi Ayahku (Satria 2012, 321 hal). Kini bergerak di bidang problem solving, creative marketing, dan public relations)

https://megapolitan.kompas.com/read/2019/07/27/17425231/berkaca-dari-kasus-nunung-selebritas-narkoba-dan-tangis-penyesalan

Terkini Lainnya

Melonjak, Pasien DBD di Jakbar Tembus 1.124 pada April 2024

Melonjak, Pasien DBD di Jakbar Tembus 1.124 pada April 2024

Megapolitan
JPO Cilincing yang Hancur Ditabrak Kontainer Diperbaiki, Biaya Ditanggung Perusahaan Truk

JPO Cilincing yang Hancur Ditabrak Kontainer Diperbaiki, Biaya Ditanggung Perusahaan Truk

Megapolitan
Polisi Usut Penyebab Remaja di Cengkareng Gantung Diri

Polisi Usut Penyebab Remaja di Cengkareng Gantung Diri

Megapolitan
Dari 7 Jenazah Korban Kebakaran Mampang, 2 di Antaranya Anak Laki-laki

Dari 7 Jenazah Korban Kebakaran Mampang, 2 di Antaranya Anak Laki-laki

Megapolitan
Isak Tangis Iringi Pengantaran 7 Jenazah Korban Kebakaran 'Saudara Frame' ke RS Polri

Isak Tangis Iringi Pengantaran 7 Jenazah Korban Kebakaran "Saudara Frame" ke RS Polri

Megapolitan
Kebakaran Toko Bingkai Saudara Frame Padam, Arus Lalin Jalan Mampang Prapatan Kembali Normal

Kebakaran Toko Bingkai Saudara Frame Padam, Arus Lalin Jalan Mampang Prapatan Kembali Normal

Megapolitan
Sebelum Toko 'Saudara Frame' Terbakar, Ada Percikan Api Saat Pemotongan Kayu

Sebelum Toko "Saudara Frame" Terbakar, Ada Percikan Api Saat Pemotongan Kayu

Megapolitan
Kondisi Karyawan Selamat dari Kebakaran Saudara Frame, Salah Satunya Luka Bakar Hampir di Sekujur Tubuh

Kondisi Karyawan Selamat dari Kebakaran Saudara Frame, Salah Satunya Luka Bakar Hampir di Sekujur Tubuh

Megapolitan
Polisi: Ada Luka di Dada dan Cekikan di Leher Jasad Perempuan di Pulau Pari

Polisi: Ada Luka di Dada dan Cekikan di Leher Jasad Perempuan di Pulau Pari

Megapolitan
144 Kebakaran Terjadi di Jakarta Selama Ramadhan, Terbanyak di Jaktim

144 Kebakaran Terjadi di Jakarta Selama Ramadhan, Terbanyak di Jaktim

Megapolitan
Wanita Ditemukan Tewas di Dermaga Pulau Pari, Polisi Periksa 3 Teman Dekat Korban

Wanita Ditemukan Tewas di Dermaga Pulau Pari, Polisi Periksa 3 Teman Dekat Korban

Megapolitan
Cerita Warga Habiskan Uang Jutaan Rupiah untuk Bagi-bagi THR di Hari Lebaran

Cerita Warga Habiskan Uang Jutaan Rupiah untuk Bagi-bagi THR di Hari Lebaran

Megapolitan
Anggota DPRD Pertanyakan Besaran Anggaran Restorasi Rumah Dinas Gubernur DKI yang Capai Rp 22 Miliar

Anggota DPRD Pertanyakan Besaran Anggaran Restorasi Rumah Dinas Gubernur DKI yang Capai Rp 22 Miliar

Megapolitan
Tewas Terjebak Kebakaran, Keluarga Pemilik 'Saudara Frame' Tinggal di Lantai Tiga Toko

Tewas Terjebak Kebakaran, Keluarga Pemilik "Saudara Frame" Tinggal di Lantai Tiga Toko

Megapolitan
Kadis Dukcapil: 92.432 NIK Warga Jakarta Bakal Dinonaktifkan Awal Pekan Depan

Kadis Dukcapil: 92.432 NIK Warga Jakarta Bakal Dinonaktifkan Awal Pekan Depan

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke