Laki-laki itu ialah Agus Darmanto, penjual buku di Kwitang, Jakarta Pusat. Ia tampak santai menggunting kukunya sembari menunggu pelanggan.
Saat dihampiri pelanggan, ia menyambutnya dengan senyuman.
“Cari buku apa, bu? tanya Agus.
Ia tampak teliti mencari satu per satu buku yang dicari pelanggannya. Buku pelajaran matematika SMA yang diminta akhirnya ditemukan.
Buku bekas yang ia jual harganya antara Rp 5000 hingga Rp 150.000.
Agus bercerita, dirinya telah menggeluti jualan buku selama sepuluh tahun di Kwitang.
Sebelumnya, pria berusia 70 tahun ini bekerja menjadi sekuriti di kawasan Kwitang. Semenjak pensiun, ia kemudian beralih profesi menjadi pedagang buku bekas.
“Saya bosen di rumah dibanding saya sakit-sakitan. Mending saya jualan, makan tinggal bilang, minum tinggal bilang,” ucapnya.
Tak banyak modal yang dikeluarkannya kala itu. Ia hanya modal nekat dan berbekal pengetahuan tentang buku.
Saat menjadi satpam, ia sering datang ke toko buku di sekitar kantornya untuk membaca.
“Saya saat jadi satpam sering liat orang-orang beli buku, kayak apa aja yang sering dicari saya tahu. Terus sesekali kalau istirahat saya suka numpang baca buku. Nah karena tertarik makanya saya buka usaha buku,” ujar Agus.
Awalnya, Agus hanya menjual sejumlah buku yang ia bawa di dalam tas. Buku tersebut kemudiam ia pajang di pinggir jalan.
Setelah berkembang, ia memiliki toko sendiri untuk menyimpan buku-bukunya.
“Jadi saya jual di pinggir jalan supaya banyak dilihat orang, tapi saya punya toko juga di dalam buat simpan buku,” ujar Agus.
Beli rumah dari jualan buku
Agus bercerita, dulu ia memiliki banyak pelanggan. Ia mengaku sampai tak memiliki waktu untuk bersantai setiap hari.
Dari pagi hingga sore, tokonya ramai didatangi pelanggan.
Warga Bojongede ini mengaku, dari penjualan buku ia dapat membeli rumah untuk keluarganya.
Sebelumnya, Agus dan keluarga tinggal di rumah kontrakan.
“Sekarang saya udah punya rumah, waktu itu saya beli Rp 160 juta. Sekarang Alhamdulilah udah ada kamarnya empat di rumah,” kata Agus.
Bahkan, ia juga bisa membiayai kuliah anak-anaknya dari hasil jualan buku. Dua anaknya telah menyelesaikan kuliah, sementara anak terakhirnya telah lulus SMK dan bekerja.
Tak jarang ia membawakan buku bagus atau novel ke rumah untuk dibaca anaknya.
“Misalnya buku ada yang bagus isinya pasti saya simpen buat anak saya baca sehingga anak saya gak perlu mahal beli buku,” katanya.
Persaingan online
Agus merasa, kini minat baca masyarakat jauh berbeda dibanding dulu. Ditambah lagi beredarnya buku versi digital dan penjualan lewat online.
Kini, lantaran sepi pembeli, ia masih sempat membaca dua buku dalam sehari selama menunggu dagangan.
Meski demikian, ia tetap bertahan menjual buku secara konvensial. Ia yakin masih ada orang yang memilih membeli buku secara langsung dengan berbagai pertimbangan.
“Saya pernah beli buku dari online, eh pas diterimanya bukunya kaya buku yang didaur ulang, jadi agak jelek ngelemnya. Kalau milih langsung kan enak bisa dilihat bagus enggaknya,” katanya.
Dia meyakini, meskipun saat ini sudah banyak buku elektronik yang didapat secara gratis dari internet, namun buku cetak tetap akan dibutuhkan.
Agus juga berpesan kepada generasi muda agar tidak bosan-bosan membaca buku. Karena buku merupakan sumber ilmu.
“Ya, kalau belum ada pembeli, saya sambil lalu membaca buku-buku ini, karena bagi saya buku itu gizi, gizinya otak,” tuturnya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/09/04/09423651/cerita-agus-pedagang-buku-kwitang-bertahan-di-era-digital