Gubuk itu bernama Bilik Pintar (Bilpin). Lokasi persinya di Kampung Penampungan Ghasong, Menteng Atas, Jakarta Selatan.
Bilik Pintar menjadi oase bagi anak-anak pemulung dan kurang mampu yang haus akan ilmu.
Saat Kompas.com mengunjungi tempat itu, Jumat (13/12/2019), di depan Bilik Pintar ada seorang pria berambut panjang, mengenakan kaos, sedang duduk minum kopi. Dia adalah Teguh Suprobo, pendiri tempat itu.
Teguh Suprobo yang akrab disapa Bowo menjadikan tempat itu sebagai lembaga pendidikan non-formal.
Ia membangun Bilik Pintar karena tergugat saat melihat anak-anak yang tidak mendapat pendidikan.
"Masih banyak anak-anak yang tidak bisa bersekolah karena kurangnya dukungan dan faktor ekonomi. Karena itulah, saya membangun Bilpin ini agar mereka semua menikmati pendidikan dengan layak," ujar pria kelahiran Brebes, Jawa Tengag itu.
Bowo dulu bekerja sebagai teknisi sebuah apartemen di Jakarta Selatan. Kini tidak lagi dan dia bekerja serabutan serta membantu proses kegiatan belajar-mengajar di Bilik Pintar.
"Sekarang saya hanya serabutan aja. Kalau ada kerjaan dari warga, misal bantu sesuatu, pasti saya tolong," ujar Bowo yang saat ini sedang kuliah hukum di STHI (Sekolah Tinggi Hukum Indonesia).
Dalam sebulan, ia mendapat penghasilan tidak menentu.
Pria 3 anak itu juga hobi membaca di waktu luangnya.
"Sebelum saya berangkat kuliah, saya biasanya tuh baca buku, seperti buku politik, sosial, dan hukum," tambahnya.
Bowo sedih dengan anak-anak yang enggan membaca buku.
"Saya tuh miris sama anak sekarang. Dikit-dikit googling, padahal kan yang di internet belum tentu benar. Masa kalah sama saya yang udah setengah abad masih hobi baca buku," candanya sambil tertawa.
Merasa berutang budi karena pernah dibantu
Dia sudah lama memendam mimpi untuk mengenyam pendidikan tinggi.
"Semenjak lulus SMA, saya punya mimpi untuk kuliah. Dan alhamdullilah, sekarang terkabul," ujar Bowo.
Ia membangun Bilik Pintar karena merasa punya utang budi yang harus dibayar kepada negara setelah istrinya, Asmonah yang biasa disapa Wati, mendapat bantuan biaya operasi persalinan dari Kementerian Kesehatan tahun 2008.
Bowo bercerita, persalinan anaknya yang bernama Obama membutuhkan biaya Rp 14 juta karena melalui operasi sesar. Saat itu di dompetnya hanya ada uang Rp 600 ribu.
Proses persalinannya yang mahal membuat Bowo pasrah. Namun, ia kemudian mendapat bantuan biaya operasi persalinan dari Kementerian Kesehatan.
“Ada orang dari Kementerian Kesehatan yang membantu kami membayar lunas semua biaya persalinan,” tambahnya.
Sebelum Bilpin terbentuk, Bowo pernah membuat lembaga serupa yang bernama Obama Edu Care (OEC) tahun 2009 bagi anak-anak pemulung. Namun, OEC tidak berjalan seperti harapan.
Niat baiknya itu terhenti satu tahun setelahnya karena adanya pegusuran tahun 2010 serta kurangnya pengajar yang berkompeten.
Pada 23 November 2013, dia bersama istrinya Wati, mulai membangun Bilik Pintar dan itu bisa tetap bertahan hingga sekarang.
"Banyak anak-anak para pemulung itu nggak sekolah. Tapi orangtuanya seperti kurang peduli. Padahal kami ingin mereka tidak bernasib sama seperti orangtuanya. Mereka berhak mendapat pendidikan juga," kata Wati.
Saat ini, Bilik Pintar menampung 45 anak mulai dari TK, SD, dan SMP.
"Pendidikan itu juga kunci agar kita bisa lolos dari kemiskinan. Kalau kita pintar, kita pasti akan dicari orang," kata Bowo.
Dalam pembangunan Bilik Pintar, Bowo mengumpulkan dana swadaya dan dana bantuan dari teman-temannya.
Bowo berharap, ia bisa membangun Bilpin di pemukiman kumuh lain di Jakarta, bahkan di kota-kota lain di Indonesia.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/12/14/16354891/cerita-bowo-dirikan-bilik-pintar-buat-anak-anak-pemulung-di-menteng-atas