Masa kelam pun sempat mewarnai kehidupan etnis Tionghoa Indonesia di masa lalu
Buku berjudul Batavia Kota Banjir karya Alwi Shahab misalnya menceritakan kasus pembantaian besar–besaran kaum etnis Tionghoa oleh pemerintahan kolonial Belanda di masa lalu.
Saksi bisu peristiwa itu adalah Kali Angke. Alirannya kali itu saat ini masuk wilayah Jakarta Barat. Hulunya berada di wilayah Tangerang Selatan, Banten.
Pembantaian itu terjadi tahun 1740. Alwi menulis, peristiwa itu berawal dari bangkrutnya pabrik–pabrik gula di Batavia.
Gara-gara harga gula anjlok
Ketika itu, gula merupakan komoditas unggulan di Batavia. Pabrik-pabrik gula bangkut karena harga jual gula di pasar internasional anjlok.
Gula dari Batavia (nama Jakarta pada masa penjajahan Belanda) kalah saing dengan gula Malabar (India).
Otomatis, ribuan karyawan perkebunan dan pabrik gula yang mayoritas orang etnis Tionghoa dipecat. Perkebunan dan pabrik satu per satu tutup.
Dampaknya lanjutannya, banyak warga etnis Tionghoa jadi pengangguran. Ujung-ujungnya banyak yang jadi pelaku kriminal.
“Pabrik–pabrik gula di Batavia pada bangkrut, sehingga banyak warga China yang menjadi penangguran dan gelandangan. Dampaknya kriminalitas di Batavia meningkat tajam,” tulis Alwi dalam buku itu.
Karena angka kriminalitas melonjak, Gubernur Batavia saat itu, Adrian Vlocknaier, membatasi warga keturunan Tionghoa datang ke Batavia.
Belanda merazia dan menangkap warga yang tidak punya surat izin tinggal atau usaha.
Mereka yang ditangkap kabarnya diasingkan ke Sri Lanka yang saat itu merupakan jajahan Belanda juga.
Namun kabar beredar di tengah masyarakat bahwa mereka tidak sampai ke Sri Lanka. Mereka dibuang di tengah laut.
“Maka gegerlah warga warga China di Batavia dan sekitarnya,” lanjut buku tersebut.
Warga etnis Tionghoa lalu mulai memberanikan diri melakukan perlawanan. Mereka membekali diri dengan senjata.
Rupanya upaya mereka diendus sang gubernur jenderal. Dengan penuh keangkuhan, Gubernur Adrian Vlocknaier mengeluarkan peraturan pada tanggal 10 Oktober 1740 yang berbunyi “Bunuh dan bantai orang – orang China”.
Pembantaian besar–besaran punterjadi. Anak – anak, remaja, dewasa, tua, laki–laki dan perempuan dibantai prajurit kompeni.
Sekitar 10 ribu orang jadi korban.
Tak cukup sampai di situ, toko–toko mereka juga dijarah.
Kali Angke artinya Kali Merah
Pembantaian terbesar dalam peristiwa itu dilakukan di Kali Angke.
Alwi menulis, angke dalam bahasa bahasa Mandarin artinya merah. Jadi, Kali Angke berarti Kali Merah.
Ya, dulu kali itu berwarna merah karena bercampur darah–darah warga Tionghoa korban pembantaian Belanda.
Itu merupakan sejarah pedih. Peristiwa kelam itu kiranya dapat menjadi pendorong bagi warga bangsa, khususnya Jakarta, untuk mempererat hubungan antara etnis, saling menghormati dan berusaha agar tragedi serupa tak terulang.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/01/23/12034651/kali-angke-dan-tragedi-pembantaian-etnis-tionghoa-oleh-belanda