Sehari jelang Imlek, kalangan Tionghoa, apa pun agamanya, punya tradisi bersembahyang arwah, berharap agar para leluhur beroleh selamat di alam barzakh. Tetapi, Jumat sore itu, sehari jelang Imlek 2571, hujan melunturkan semuanya.
Makam-makam china di tepi Jalan Raya Perjuangan itu sepi. Baru beberapa makam saja yang telah ditancap hio. Belukar menyeruak di jalan-jalan setapak.
Saat Kompas.com menyambanginya, cuma ada satu orang di sana. Ia bukan peziarah, Suwanda (75) namanya, juru kunci makam sejak 1970.
"Ini (area depan) dulu lapangan bola. Tempat nanem singkong, jagung. Begitu penuh ya ini (area depan) diisi. Enggak tahu sekarang berapa makam. Enggak sanggup ngitungnya, acak-acakan. Kayaknya hampir seribu," kata Wanda.
"Di sini arah makamnya ikut sesuai arah rumah semasa hidupnya," imbuhnya.
Dengan topi rimba bercokol di kepalanya, Wanda, panggilan akrabnya, hafal betul siapa-siapa saja yang dimakamkan, termasuk di mana saja makamnya, di TPU seluas 12 hektar itu.
Ada dukun, ada orang baik, ada bayi, ada orang kaya, ada orang berusia 104 tahun, dan macam-macam predikat lain yang disebut Wanda, yang jasadnya tersimpan di sana. Nyaris semua orang Bekasi.
Wanda pun tak pakai meraba-raba kala menuntun wartawan, meski mesti menyibak semak-semak yang belum dibersihkan, menghampiri makam tertua di TPU yang dikelola Yayasan Pancaran Tridharma Bekasi ini.
"Dia nyumbang tanah buat kuburan ini," kata Wanda di depan gundukan raksasa berselimut rumput, dengan nisan tertancap bertarikh 1911.
Makam itu kontras dibandingkan makam-makam china lain yang meriah: dinaungi atap, dihiasi ornamen naga, dan nisan besarnya -- bongpai -- dibangun dengan marmer aneka warna.
Apalagi, jika dibandingkan dengan makam-makam muda yang rata-rata baru dibangun sekitar 2010. Ornamen dan keramiknya masih segar menyala, nama mendiang belum luntur digempur cuaca.
"Ini saya yang gosok pakai batu gerinda. Nisan sih keluarga yang beli, kami yang bikin dibikin kaya bangunan rumah. Yang gede bisa 1,5 bulan baru jadi," kata Wanda.
Tak ada pengelompokan seperti klaster makam orang tajir dan orang miskin di sini. Makam tiga susun dengan tugu naga yang serupa mausoleum, dengan dindingnya dirajah ukiran nuansa alam China, berdiri berdampingan dengan makam sederhana berkeramik putih.
Semua nisan memuat inti yang sama: nama mendiang ditambah daftar kerabat dan keturunan, baik dalam bahasa Indonesia maupun aksara Mandarin.
Bauran sejenis itu ialah nyawa TPU ini. Wanda bilang, ada tiga kepercayaan yang membaur saat masa ziarah kubur waktu Imlek, yakni Buddha, Kristiani, dan Konghucu.
Umat Buddha rata-rata ziarah di hari Imlek, kata dia. Ada rumah kecil untuk persembahan serta tong kecil buat membakar replika harta.
Umat Kristiani lain lagi. Lebih ringkas, mereka berlutut di sekitar makam pada hari Minggu, menabur aneka bunga, kemudian pulang.
Umat Konghucu sering kali tak ziarah waktu Imlek. Hanya saat Ceng Beng dan Agustus nanti.
Satu yang luput dari memori Wanda, kapan terakhir makam ini menerima jasad. Pokoknya, TPU Penggilingan Baru sudah penuh. Tidak muat lagi menyimpan mayat.
"Kecuali (jasad) bisa pada diangkut nih, dibawa ke Marunda buat dikremasi, baru bisa (ada lahan kosong lagi)," kata dia.
Saking penuh, segelintir makam mesti mengambil lokasi di bantaran Kali Bekasi. Banjir hebat pada tahun baru 2020 lalu memaksa beberapa makam angkat kaki. Rusak. Longsor.
"Jenazahnya enggak hanyut. Sudah dibawa buat dikremasi," ucap Wanda di atas makam yang telah jebol, seraya menudingkan telunjuk ke arah makam-makam yang hingga kini masih terbenam lumpur, diselimuti sampah-sampah plastik bekas banjir.
Pekuburan ini tak mau tahu siapa penghuninya, makam kaya-miskin berdampingan, pusara tiga agama bertetangga. Laiknya udara, bumi sama-sama tak pilih kasih.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/01/24/23574371/berita-foto-bumi-tak-pilih-kasih-di-kuburan-china