JAKARTA, KOMPAS.com - Sepekan terakhir, kasus ekshibisionisme terjadi sebanyak tiga kali di wilayah Jabodetabek.
Semua pelaku merupakan laki-laki yang masturbasi di depan umum.
Tiga kasus tersebut yakni kasus ekshibisionisme terhadap lima orang bocah di Cikarang Timur, Bekasi, pada Senin (20/1/2020), kasus ekshibisionisme terhadap tiga perempuan di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, pada Kamis (23/1/2020), dan ekshibisionisme di bawah JPO Ahmad Yani, Bekasi pada hari yang sama.
Lalu apa yang harus dilakukan jika bertemu dengan pelaku ekshibisionisme ?
1. Mengabaikan pelaku
Psikolog Klinis dan Hipnoterapis dari Smart Mind Center Consulting Alexandra G Adeline menyarankan masyarakat yang melihat aksi ekshibisionisme agar mengabaikannya.
Dengan demikian, ekshibisionis tak lagi mencari perhatian dengan aksinya itu.
"Yang bisa diedukasi ke masyarakat adalah supaya belajar untuk mengabaikan sama sekali tingkah mereka (pengidap ekshibisionisme)," ujar Alexa kepada Kompas.com, Senin (27/1/2020).
Alexa mengatakan, tindakan abai tersebut akan membuat mereka kesal. Sebab merasa tak diperhatikan seperti yang diinginkannya.
"Karena hal itulah yang membuat orang dengan gangguan ekshibisionisme kesal dan merasa tidak diperhatikan," kata Alexa.
Dengan tidak ada lagi yang perhatian padanya, maka lambat laun dia akan sadar jika yang dilakukannya meresahkan orang lain.
"Perlu dibangkitkan kesadaran diri untuk berubah baru mereka bisa berubah. Maka masyarakat belajar mengabaikannya," kata Alexa.
2. Jangan divideokan
Alexa juga menyarankan agar orang yang bertemu ekshibisionis untuk tidak mengabadikannya aksi tersebut ke dalam video.
Pengidap ekshibisionisme biasanya cenderung lebih senang divideokan. Sebab, mereka merasa diperhatikan.
"Dia malah senang kalau divideo, bahkan kita responsnya takut. Karena dia emang suka kalau kita merespons," kata Alexa.
Pengidap ekshibisionisme biasanya merasa puas jika respons yang melihat alat kelaminnya itu bereaksi kaget, marah, takut, dan shock.
Menurit Alexa, ada beberapa faktor pemicu seseorang mengidap ekshibisionisme.
Misalnya, pengidap itu sudah dipaparkan dengan stimulasi seksual sejak kecil.
"Atau bisa karena pribadi orang tersebut sedari kecil sering terekspos, jadi mereka kurang mengetahui batasan diri dan menyukai perhatian publik itu. Mereka menjadi merasa ada kebutuhan akan perhatian tersebut," ucap dia.
Merasa kebutuhan akan perhatian itulah yang menyebabkan pelaku ini terus memperlihatkan kelaminnya untuk mendapatkan perhatian itu.
Untuk mengubah ekshibisionis menjadi normal memerlukan kesadaran diri dari pengidapnya.
"Atau dari kita orang-orang terdekatnya yang membangkitkan atau memotivasi agar pengidap itu sadar untuk berubah," tambahnya.
3. Lapor ke pihak berwajib
Hal terakhir yang perlu dilakukan bagi korban yang merasa dilecehkan oleh ekshibisionis adalah melapor ke polisi.
Korban bisa melapor karena perbuatan tersebut merupakan tindakan pidana.
Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar, menyebutkan, aksi ekshibisionisme tergolong sebagai tindakan cabul dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) RI.
"Dalam KUHP, itu (ekshibisionisme) disebut sebagai perbuatan cabul. Dia bisa dikenakan oleh banyak pasal misalnya, Pasal 289 KUHP bahwa barangsiapa dengan kekerasan atau tanpa kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, diancam hukuman maksimal 9 tahun (penjara)," jelas Fickar.
Pencabulan itu diatur dari Pasal 289 sampai Pasal 296 KUHP. Semuanya tentang pencabulan, termasuk di dalamnya menunjukkan alat kelamin pada orang lain.
Fickar menyebutkan, paksaan yang termuat dalam pasal-pasal pencabulan bukan hanya berarti paksaan untuk melakukan aktivitas seksual secara fisik.
Menunjukkan alat kelamin bisa ditafsirkan sebagai bentuk "paksaan" pula karena tidak ada kesepakatan (consent) antara subjek dan objek dalam tindakan ekshibisionisme itu.
Si subjek menjadi pelaku, sedangkan objeknya menjadi korban. Si korban terpaksa menyaksikan tindakan itu, tanpa persetujuannya.
Namun, kata Fickar, karena bersifat delik aduan, korban ekshibisionisme mesti melapor ke polisi ihwal kasus yang menimpanya. Pelaporan akan dianggap bahwa korban "terpaksa", dan polisi akan memprosesnya.
Tanpa laporan, merujuk pada pasal-pasal Pencabulan, korban dianggap tidak terpaksa.
"Tapi, intinya itu adalah perbuatan cabul, pelecehan seksual. Ini bersifat privat," kata pakar hukum pidana Universitas Trisakti itu. "Karena ada unsur pemaksaan dan korbannya tidak suka," tutup Fickar.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/01/28/17054371/tips-jika-bertemu-ekshibisionis-abaikan-dan-jangan-divideokan