PADA tanggal 16 April 2020, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2020
tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Puncak, dan Cianjur (Perpres Jabodetabek-Punjur) mulai berlaku.
Pada peraturan presiden tersebut, pembangkitan tenaga listrik masuk pada klasifikasi sistem
jaringan energi (Pasal 23 huruf b Perpres Jabodetabek-Punjur) yang merupakan bagian dari
rencana sistem jaringan prasarana pada rencana struktur ruang (Pasal 19 ayat (3) Perpres
Jabodetabek-Punjur).
Pada Pasal 42 ayat (1) Perpres Jabodetabek-Punjur dinyatakan: “Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf b ditetapkan dalam rangka memenuhi kebutuhan energi dalam jumlah cukup dan menyediakan akses berbagai jenis energi bagi
masyarakat untuk kebutuhan sekarang dan masa datang”.
Walaupun terdapat kata-kata “berbagai jenis energi” pada Pasal 42 ayat (1) Perpres Jabodetabek-Punjur tersebut, namun demikian pada kenyataannya hadirnya energi ramah iklim pada peraturan presiden tersebut masih lemah.
Misalnya, dari 11 pembangkitan tenaga listrik yang merupakan sistem jaringan energi yang juga mendukung energi di Pulau Sumatera, hanya terdapat 3 pembangkitan listrik yang ramah iklim, yaitu 2 pembangkitan listrik tenaga panas bumi dan 1 pembangkitan listrik tenaga air (Pasal 42 ayat (2) huruf b dan ayat (5) Perpres Jabodetabek-Punjur).
Sisanya bersumber dari energi yang tidak ramah terhadap iklim, yaitu berasal dari gas dan uap (6 pembangkitan), uap (1 pembangkitan), dan diesel (1 pembangkitan) (Pasal 42 ayat (2) huruf b dan ayat (5) Perpres Jabodetabek-Punjur).
Perpres Jabodetabek-Punjur juga membuka ruang bagi pembangkitan yang berasal dari sampah dan energi lain (Pasal 42 ayat (10) dan ayat (11) Perpres Jabodetabek-Punjur).
Untuk energi dari sampah, Jeff Seadon, Dosen Auckland University of Technology, termasuk yang tidak menganjurkannya karena alasan yaitu salah satunya energi dari sampah juga memiliki dampak buruk terhadap lingkungan (Theconversation.com, 11 Desember 2019).
Untuk energi lain juga disebut pada Pasal 42 ayat (11) Perpres Jabodetabek-Punjur, namun sangat disayangkan pengaturannya dikembalikan pada peraturan perundang-undangan lain dan tidak dikembangkan secara khusus dan detail untuk energi ramah iklim.
Selain itu, pemanfaatan energi yang berasal dari air, angin, dan panas (tidak dijelaskan
apakah ini panas bumi atau bukan) juga disebut dalam konteks kawasan suaka alam, kawasan
pelestarian alam, kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta kawasan
ekosistem mangrove.
Ketentuan ini juga masih diatur secara umum (Pasal 106 huruf a, 108 huruf a, 109 huruf a, dan 113 huruf a Perpres Jabodetabek-Punjur).
David Firnando Silalahi, Kandidat Ph.D. dari Australian National University, menyatakan
energi tenaga surya dapat memenuhi kebutuhan listrik di Indonesia pada tahun 2050 dengan sejumlah persyaratan yang perlu dipenuhi (Theconversation.com, 22 April 2020).
Terobosan seperti ini yang kita butuhkan dan perlu dijalankan oleh pemerintah. Bahkan apabila dapat lebih cepat dari tahun 2050, maka tentunya akan lebih baik lagi.
Pemanfaatan ruang pada Perpres Jabodetabek-Punjur yang dimulai dari 2020 sampai dengan
2039 (dibagi menjadi 4 tahap) (Pasal 84 ayat (2) huruf d dan ayat (6) Perpres Jabodetabek-
Punjur) tidak mengatur pengembangan energi ramah iklim sejauh itu.
Semestinya Pasal 42 ayat (1) Perpres Jabodetabek-Punjur perlu direvisi dengan menekankan pemberian prioritas tertinggi kepada energi ramah iklim. Target persentase energi ramah iklim yang ambisius dan sistematis juga perlu dijelaskan pada 4 tahapan pembangunan Jabodetabek-Punjur tersebut.
Jabodetabek-Punjur diharapkan dapat memberikan contoh sebagai kawasan yang mendukung
energi ramah iklim bagi kota dan kabupaten yang ada di Indonesia.
Keadilan Antargenerasi
Pasal 42 ayat (1) Perpres Jabodetabek-Punjur selain menyinggung energi yang diperlukan
pada saat ini juga menyebut energi yang akan dibutuhkan pada masa depan.
Apabila kita berbicara mengenai masa depan, kita juga perlu mengingat generasi selanjutnya. Apalagi Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur ini memiliki umur panjang yaitu selama 20 tahun—meskipun dapat ditinjau kembali (Pasal 137 Perpres Jabodetabek-Punjur).
Kita perlu memperhatikan aspek keadilan antar-generasi dalam penanganan persoalan
perubahan iklim sebagaimana disebut pada Pembukaan Persetujuan Paris atas Konvensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (Paris Agreement).
Aspek keadilan antargenerasi masa sekarang dan masa depan terkait perlindungan terhadap
sistem iklim juga mendapat perhatian khusus pada Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC), di mana hal ini diatur pada Pasal 3
dan dijadikan sebagai salah satu prinsip dari UNFCCC.
Baik Paris Agreement dan juga UNFCCC telah diakui sebagai bagian dari hukum Indonesia.
Dalam konteks energi, Perpres Jabodetabek-Punjur masih belum mencerminkan keadilan
antargenerasi.
Kita masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan ini. (Handa S Abidin, SH, LLM, PhD | Dosen International Climate Change Law (September 2020) President University)
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/05/16/15161321/lemah-energi-ramah-iklim-di-jabodetabek-punjur