Ia diduga mencabuli sejumlah anak yang aktif berpartisipasi di bawah dirinya sebagai pembina salah satu kegiatan gereja sejak awal tahun 2000-an.
Sejauh penelusuran internal gereja, kasus pencabulan oleh SPM sudah paling lama terjadi pada 2006.
Namun, kasus ini baru tercium 14 tahun kemudian, yakni pada Maret 2020.
Pendamping hukum para korban, Azas Tigor Nainggolan, mengungkapkan awal mula kasus ini terkuak.
"Sekitar bulan Maret, pengurus-pengurus pada curiga, alumni-alumni misdinar (subseksi kegiatan yang dibina SPM) juga curiga karena perilakunya pelaku," kata Tigor kepada Kompas.com, Senin (15/6/2020).
"Dia suka pangku-pangku, suka peluk-peluk. Ini cerita dari teman-teman. Akhirnya mereka mencoba mendalami apa yang mereka lihat, melalui orangtua para misdinar dan teman-teman alumni misdinar," jelas dia.
Pihak gereja akhirnya membentuk tim investigasi internal yang terdiri dari pengurus-pengurus lain.
Mereka mendatangi Pastor Paroki Gereja Yosep Sirilus Natet untuk meminta pandangan, karena bagaimanapun kasus pencabulan ini menjerat seorang pengurus senior gereja.
Natet menyampaikan bahwa gereja harus berbesar hati mengakui ada borok dalam internal mereka yang harus diselesaikan secara hukum.
Terlebih lagi, kasus ini menyangkut anak-anak yang akhirnya menderita trauma akibat pencabulan oleh SPM.
"Maret itu sudah adalah gelagat, omongan-omongan dari umat. Akhirnya ada umat yang mau mengadukan kejadian itu bertemu dengan saya," kata Natet kepada Kompas.com, Senin.
"Saya katakan, kalau gereja punya semacam kehendak untuk mengungkap segala yang menjadi borok atau keburukan yang terjadi, kenapa tidak? Kalau ini memang sesuatu yang terjadi di dalam gereja, korbannya umat saya, pelaku juga umat saya, kita harus tetap menegakkan keadilan ... bahwa apa yang terjadi adalah pelanggaran," ungkap dia.
Penyelidikan oleh tim internal gereja berlanjut. Tim investigasi mulai mengundang satu per satu orangtua anggota misdinar.
Para orangtua ditanya-tanya perihal kemungkinan anak mereka menjadi korban pencabulan oleh SPM.
Namun, tak mudah memperoleh jawaban yang bernas.
"Saya melihat ini ada situasi di mana korban tidak tahu bahwa dirinya sedang dilecehkan karena mereka masih anak-anak, paling kecil 11 tahun," kata Tigor.
"Ketika saya mengobrol dengan orangtuanya, juga orangtuanya kadang tidak ngeh, tidak tahu. Anak-anaknya juga tidak menceritakan ke orangtuanya. Kemudian kalau mereka tahu, ada juga orangtua yang takut dan malu," lanjut dia.
Beruntung, salah satu anak akhirnya mau mengakui pencabulan yang dilakukan oleh SPM terhadap dirinya pada Maret lalu melalui orangtuanya untuk kemudian disampaikan kepada tim investigasi internal gereja.
Dari sana, investigasi terus berkembang dan pengakuan korban-korban lain bermunculan.
Hingga saat ini, Tigor mengaku setidaknya sudah menerima pengakuan 11 anak, enam di antaranya sudah klir, sedangkan lima lainnya masih butuh pemeriksaan lebih dalam.
Dari pendalaman itu, diperoleh dugaan bahwa SPM kerap kali melayangkan paksaan dan ancaman tidak memberikan tugas misdinar anak-anak itu agar menurut saat hendak ia cabuli.
"Sekitar tanggal 22 Mei 2020, ada keluarga korban yang mau melaporkan ke polisi," kata Tigor.
Gereja sepakat bahwa kasus ini harus diproses ke ranah hukum. Pihak gereja kemudian menunjuk Tigor untuk mendampingi pelapor.
"Ini terus berkembang dan kami bikin tim investigasi lebih. Ada psikolog, ada romo (pastor), ada saya di bidang hukum, ada yang biarawati," kata dia.
SPM kini ditahan polisi dan terancam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/06/16/13315911/begini-awal-kasus-pencabulan-anak-oleh-pengurus-gereja-di-depok-terungkap