JAKARTA, KOMPAS.com - Suryani masih asik berada di depan pintu rumahnya yang berkawasan di Cipayung, Jakarta Timur. Tubuh kecilnya yang dilapisi kaus merah duduk bersila sambil asik mengupas bawang putih.
Sesekali jemari lentiknya yang biasa diajak menari terlihat memasukan satu per satu bawang ke dalam plastik putih. Sungguh, dia seperti menikmati aktivitas sederhana itu.
Perempuan berusia 47 tahun ini rupanya sedang mengemas satu demi satu bawang putih itu untuk dijual secara online.
Walau kelihatannya sudah seperti pedagang bawang kelas kakap, siapa sangka sebenarnya Suryani baru menggeluti bisnis tersebut beberapa bulan belakangan.
Dia banting stir jadi pedagang bawang setelah sebelumnya berprofesi sebagai koreografer tari daerah kawakan. Kenapa bisa seperti itu? Semuanya terjadi karena virus corona.
Sejak pandemi Covid-19 merebak di awal Maret 2020, perempuan satu anak ini mulai merasakan dampaknya. Satu persatu job tarinya mulai hilang karena pandemi.
Bukan hanya itu, tempat sanggarnya menari di Taman Mini Indonesia Indiah (TMII), Jakarta Timur pun mulai ditutup.
Pusing bukan kepalang pun tidak dapat dihindari. Dari mana lagi dirinya harus mencari nafkah untuk urusi keluarga. Terlebih kondisi suami yang sedang stroke pun harus jadi perhatian perempuan yang akrab disapa Acung ini.
Alhasil, berdagang bawang pun dipilih jadi jalan untuk cari nafkah.
“Sekarang bawang sedang naik (harga). Haduh gara-gara dagang saya jadinya tahu harga ya,” ucap Acung polos sambil menyipitkan mata kala melepas tawa, Kamis (2/7/2020).
Semangat terlihat kala dia menjelaskan berbagai jenis bawang.
“Saya juga baru tahu kalau bawang itu macem-macem. Ada bawang Bombay New Zealand yang gedenya segini,” katanya sambil menunjukan kepalan tangan untuk menggambarkan besarnya bawang tersebut.
Bawang dipilih Acung lantaran kebutuhan akan bahan pangan ini masih tinggi di tengah pandemi. Selain itu temannya juga sarankan jual bawang karena dinilai menuai untung yang lumayan.
Sebenarnya berjualan bukan jadi hal baru bagi Acung. Kala muda, perempuan berdarah Sunda ini sempat berdagang di tengah kesibukan tari. Namun lambat laun berdagang pun ditinggalkan dan dirinya lebih fokus dengan aktivitas tari.
“Karena pandemi saya bukanya harus mencoba- coba dagang lagi tapi saya harus serius di sini. Saya harus mencari jalan supaya saya bisa dapat uang untuk biaya biaya harian,” kata dia.
Tentu sulit baginya harus serius menekuni profesi baru. Namun Acung tidak memilih untuk mengeluh. Menolong diri dengan usaha sendiri dipilih Acung karena sadar bantuan dari pemerintah minim, apalagi untuk kaum pekerja seni seperti dia.
“Karena kebutuhan hidup banyak, anak saya yang satu baru mau masuk SMP, suami saya juga seperti itu. Itu yang membuat saya cari akal untuk cari uang. Enggak perlu malu,” lanjut Acung.
Namun jalan mulus tidak selalu menyertai Acung di awal berwirausaha. Pahitnya ditipu orang pun sudah dialaminya. Kala itu sebelum terjun ke dua bawang, dia sempat coba peruntungan menjual masker dan hand sanitizer.
Ketika ingin membeli masker yang mau dijual, Acung harus menelan pil pahit ditipu sebesar Rp 3 juta. Sesekali Acung pun menghela nafas kala membagi kisah ini.
“Saya sudah kirim uang Rp 3 juta, tapi barangnya enggak dikirim-kirim. Nomor telepon saya langsung diblokir,” katanya sambil sedikir bersandar.
Namun apa daya, ikhlas jadi satu satunya cara Acung menyikapi musibah itu.
Lalu, berapa penghasilan Acung selama jadi pedagang bawang? Raut wajahnya pun nampak malu-malu kala mau menjawab pertanyaan ini. Yang pasti, kata dia, penghasilan jadi koreografi tari jauh lebih tinggi.
Terang saja, penari daerah yang sudah keliling Eropa ini bisa meraup honor jutaan hingga puluhan juta.
“Kalau dari pedagang bawang ini lebih sedikit, tapi saya bersyukur karena ini cukup buat keluarga saya,” kata dia.
Bawang yang dia jual sengaja tidak dibuat mahal. Wajar saja, bukan untung besar yang dia cari melainkan hanya sekian rupiah demi menyambung hari.
Walau nampak terseok-seok, dia masih mensyukuri keadaannya sekarang. Mengingat banyak rekan seperjuanganya yang tak punya modal untuk usaha. Jangankan modal usaha, ongkos bepergian dengan angkutan umum pun tak ada.
Melihat kondisi ini, Acung dan beberapa rekannya pun kerap mencari sumbangan untuk menolong teman penari lainnya.
“Murid saya kan ada juga orang lumayan berada seperti notaris dan sebagainya. Kadang saya todong-todong untuk minta bantuan buat teman-teman. Malu enggak malu saya jalani aja. Alhamdulillah ada yang baik hati kasih sumbangan,” terang dia.
Selain itu, tidak jarang dia mengajak teman-teman tari yang lain tuk berjualan bawang sepertinya.
Cukup mengenaskan memang nasib para penari ini. Dahulu tugas mereka bergoyang gemulai demi menghibur ribuan pasang mata. Kini hanya sedikit mata yang mau memperhatikan ketika tubuh mereka goyang karena kelaparan.
Di luar sana masih banyak ribuan Acung yang mungkin bernasib lebih buruk karena Pandemi. Dia berharap pemerintah mau memerhatikan para pekerja seni ini agar tetap bisa bertahan hidup.
”Untuk para pekerja seni di luar sana harus tetap berjuang, sesulit apapun masalah yang kita hadapi pasti ada jalan keluarnya. Berat memang berat, tapi mengeluh bukan solusinya,” tutup Acung.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/07/03/09140731/kisah-seniman-tari-dulu-melenggak-lenggok-kini-jual-bawang-karena-pandemi