Ketua Pengurus Cabang Federasi Sektor Pekerja, Percetakan Penerbitan Media dan Informatika, (PC FSP PPMI) SPSI Kota dan Kabupaten Bekasi Heri Sopyan mengklaim, aksi itu diikuti pekerja di sekitar 10.000 perusahaan di Kota maupun Kabupaten Bekasi.
Aksi ini bentuk penolakan para buruh terhadap pengesahan Undang-undang Cipta Kerja oleh DPR dan pemerintah.
"Iya serentak dua hari ini (6 dan 7 Oktober) akan mogok nasional tempatnya di masing-masing pabrik. Kalau pabrik yang di kabupaten ada 6.000 yang tersebar di kawasan maupun luar kawasan, untuk kota Bekasi sekitar 4.000 pabrik. Jumlah buruh ada sekian ratusan ribu kalau ditotal " ujar Heri saat dihubungi, Selasa.
Para buruh nantinya akan minta perusahaan masing-masing untuk satu suara menolak UU Cipta Kerja. Dengan begitu, penolakan makin kuat.
"Harapannya semua teman-teman yang di pabrik. Kita menyampaikan ke teman-teman untuk negosiasi lah dulu bagaimana perusahaan bisa mengeluarkan satu surat bahwa itu untuk menolak atau mencabut Omnibus Law, targetnya itu," kata Heri.
Heri mengaku kecewa dengan tindakan DPR dan pemerintah yang mengesahkan UU Cipta Kerja di tengah pandemi Covid-19.
Dengan pengesahan tersebut, kata dia, buruh merasa tidak lagi percaya terhadap Pemerintah dan DPR RI.
"Menyikapi Omnibus Law, pertama kita tidak bisa lagi menaruh kepercayaan terhadap DPR RI dan Pemerintah," kata Heri.
Heri menambahkan, kini para buruh dari sejumlah serikat pekerja tengah lakukan konsolidasi bagaimana cara tepat agar Pemerintah maupun DPR mencabut pengesahan UU Cipta Kerja ini.
Alasannya, ada sejumah poin UU Cipta Kerja yang merugikan para buruh.
"Sampai saat ini teman-teman buruh dari lintas serikat pekerja sedang melakukan konsolidasi dan kegiatan untuk bagaimana caranya Omnibus Law bisa dicabut dan kembali ke UU yang sebelumnya. Kita akan terus melakukan sekuat-kuatnya sehormat-hormatnya untuk mencabut Omnibus Law baik dengan cara litigasi (gugatan hukum) dan non litigasi (aksi unjuk rasa dan mogok massal), tutur Heri.
Sebelumnya, ada tujuh poin UU Cipta Kerja yang ditolak buruh.
Pertama, para buruh menolak penghapusan ketentuan upah minimum kota/kabupaten (UMK) dan upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK).
Kedua, buruh menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan.
Ketiga, terkait perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang dinilai kontrak seumur hidup dan tidak ada batas waktu kontrak.
Keempat, para buruh juga menolak rancangan aturan mengenai outsourcing pekerja seumur hidup tanpa jenis pekerjaan.
Kelima, buruh menilai melalui RUU Cipta Kerja, pekerja berpotensi akan mendapatkan jam kerja yang lebih eksploitatif.
Keenam, buruh menilai hak cuti akan hilang apabila RUU Cipta Kerja disahkan.
Ketujuh, buruh juga menyoroti potensi karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, yang kehilangan jaminan pensiun dan kesehatan.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/10/06/10585651/ratusan-ribu-buruh-bekasi-disebut-gelar-mogok-kerja-dan-unjuk-rasa-di