JAKARTA, KOMPAS.com - Tutut Indriani Agustin (44), seorang wirausahawati yang berhasil melawan virus COVID-19, setelah lebih dari satu bulan bergelut melawan virus.
Selama pandemi, Tutut mengaku tidak pernah berpergian keluar rumah. Sehari-harinya, ia menjaga warung kelontong yang ia buka di rumahnya.
Tutut diduga terpapar COVID-19 ketika harus diopname di salah satu rumah sakit ketika penyakit darah tingginya kambuh.
Ia sempat terlambat diobati selama dua minggu karena mengira gejala batuk yang datang hanya gejala batuk pada umumnya.
Di sisi lain, Tutut memiliki penyakit bawaan lain, sehingga kondisinya menjadi semakin parah.
Mengira batuk biasa
Pertengahan Agustus 2020, Tutut sempat diopname di salah satu rumah sakit sebab mengalami penyempitan pembuluh darah selama empat hari.
Pada 15 Agustus, dua hari menuju kepulangannya ke rumah, Tutut mulai merasakan batuk-batuk. Namun, Tutut menganggap itu hanya gejala batuk pada umumnya.
Sebab, ia sempat diberitahu bahwa, jika tidak cocok dengan salah satu obat yang diberikan dokter, efek sampingnya ialah batuk-batuk.
“Aku pikir batuk biasa. Pulang opname, di rumah, batuknya makin parah. Bisa 30 menit. Sampai rusuk sakit, dada sakit, pinggang sakit,” jelas Tutut.
Karena tak kunjung membaik, Tutut mengeluhkan gejala batuk yang dialaminya kepada dokter.
Ia pun hanya diminta meminum meminum obat sirup pereda batuk.
Meski telah mengonsumsi obat, gejala yang dialami Tutut justru semakin parah. Batuk Tutut kini disertai demam di sore hari.
Parahnya, jika meminum obat pereda panas paracetamol, keringat dingin justru mengalir dari badan Tutut.
“Lama-lama aku malah demam. Mengigil, nggak bisa kena air. Minum paracetamol, eh malah keringat dingin,” pungkas Tutut.
Gejala semakin parah satu minggu kemudian. Selain batuk dan demam yang tidak kunjung membaik, Tutut mulai merasakan sesak.
“Minggu depannya lagi kontrol, dikasih obat pil. Tapi batuk enggak reda-reda. Punggung sudah mulai sakit, sudah mulai sesak, cium debu dadanya sakit gitu,” kisah Tutut.
Akhirnya, pada 1 September, dua minggu setelah gejala awal, Tutut mulai curiga dirinya terpapar Covid-19.
Dokter juga menyarankan untuk segera melakukan swab test.
“Tanggal 1 swab, tanggal 3-nya sudah enggak kuat. Sudah enggak ngerasain makanan, semua makanan tuh sudah enggak enak rasanya, beli ini-itu salah. Ya sudah deh masuk ke rumah sakit saja,” kata Tutut.
Berjuang di rumah sakit
Di rumah sakit, Tutut juga harus berjuang.
Sebab, fasilitas kesehatan penuh imbas banyaknya pasien yang terus berdatangan.
Alhasil, Tutut tidak segera mendapatkan tempat tidur di ruang isolasi.
Ia bahkan harus tidur 3 hari 2 malam di Unit Gawat Darurat (UGD), dengan keadaan diinfus dan memakai selang oksigen.
“Enggak disuruh pulang. Pihak rumah sakit bilang ‘Kalau mau nunggu ya duduk di kursi, kalau enggak mau ya di rumah sakit lain’. Akhirnya, duduk di kursi itu aku 3 hari 2 malem, cuma buat dapet bed doang. Kita enggak bisa naik langsung ke lantai isolasi karena penuh,” jelas Tutut.
Dini hari, keesokan harinya, pihak rumah sakit melakukan rontgen thorax kepada Tutut.
“Dini hari rontgen, ternyata paru-paru aku udah infeksi, karena kan udah kelamaan dari batuk pertama itu. Sudah dua minggu lebih,” tutur Tutut.
Selama diisolasi, selain merasakan gejala-gejala sebelumnya, Tutut juga mulai merasakan pilek.
Ia menduga, hal ini disebabkan oleh selang oksigen yang harus selalu dipasang untuk mengurangi sesak pernafasannya.
Tutut berjuang di rumah sakit hingga lebih dari dua puluh hari lamanya. Pada tes swab ketiga kali yang ia jalani, akhirnya Tutut negatif Covid-19.
Namun, Tutut tak segera pulang, saking banyaknya obat yang harus ia konsumsi ketika dirawat, tingkat Hemoglobin (HB) Tutut sempat turun.
“HB tuh drop. Aku sampai harus transfusi darah. Nunggu (darah) lagi dari PMI. Jadi walaupun aku udah negatif, enggak bisa langsung pulang dari rumah sakit,” tuturnya.
Segera periksa jika muncul gejala
“Aku selalu pesan, kalau badan audah enggak enak, mulai batuk-batuk, meriang, cepat-cepat periksa saja!” ujar Tutut mengingatkan.
Tutut menyatakan bahwa dokter nantinya akan merekomendasikan apakah harus melakukan swab test atau tidak.
Bahkan jika melakukan tes swab di puskesmas, tidak dipungut biaya apapun.
“Kalau positif ya, langsung ke rumah sakit. Ada yang tes positif, tapi enggak pergi-pergi ke rumah sakit, yang ada enggak sembuh-sembuh. Di rumah sakit tuh ada obat antivirusnya, ada antibiotiknya,” kata Tutut.
Ia juga mengingatkan agar tidak membeli obat sembarangan di luar resep dokter, kecuali berupa vitamin atau peningkat imun tubuh.
Pasalnya, obat yang diberikan ke tiap pasien berbeda, melihat kondisi pasien dan penyakit penyertanya.
“Contohnya, orang di sebelah aku itu dikasih chloroquin, sementara aku enggak. Soalnya, chloroquin itu bikin jantung berdebar-debar, sementara aku ada (penyakit) jantung” ujarnya.
Ada juga pasien Covid-19 yang mengonsumsi antibiotik via infus, sementara Tutut mengonsumsinya via pil.
“Enggak bisa gitu, karena beda-beda tiap orang. Obat itu semua ada efek sampingnya. Enggak semua obat yang diterima itu sama, walaupun sama-sama Covid-19. Dillihat ada (penyakit) penyertanya enggak," tutupnya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/10/07/11485411/kisah-tutut-melawan-covid-19-berhasil-sembuh-meski-sempat-terlambat