DEPOK, KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 yang tak berkesudahan disebut membuat penduduk kota-kota besar mengalami situasi mental terhimpit "seperti burger".
Kehidupan manusia urban berubah drastis karena tekanan datang dari berbagai penjuru, termasuk dari aktivitas yang dikerjakan secara online selain juga aktivitas offline.
"Temuan kualitatif dengan metode fenomenologi mengungkapkan bahwa warga mengalami stress. Mereka merasakan himpitan luar biasa. Para informan menyampaikan, mereka mengalami tekanan dari dua dunia, offline dan online sekaligus, layaknya 'burger," ujar peneliti Universitas Indonesia, Devie Rahmawati memaparkan hasil penelitiannya, Jumat (13/11/2020).
Ia memberi contoh tekanan yang dihadapi ibu muda di kota-kota besar di Indonesia.
Harus merasakan tekanan bertahan hidup dengan aneka tuntutan finansial, ia juga dapat beban untuk memastikan pendidikan anaknya di rumah tetap berjalan baik.
Ia mendadak menjadi guru pula buat anaknya, selagi memastikan urusan rumah tangga tetap terkendali.
Itu adalah tekanan tersendiri di ranah offline. Di ranah online, umumnya yang berkaitan dengan pekerjaan, tekanan juga meluncur deras.
"Mereka melihat dorongan kehidupan nyata dan maya berlangsung dalam satu waktu," ujar Devie.
"Di masa pandemi, nyaris tidak ada waktu untuk beristirahat. Pekerjaan kantor yang sebagian dilakukan offline dan online, bisa dilakukan di atas jam kewajaran di masa sebelum pandemi seperti di atas pukul 10 malam, mendadak serta dilakukan pada saat libur, Sabtu, Minggu,” tambah Devie.
Orang baru dan hobi baru
Pada konteks kehidupan urban sebelum pandemi, keluarga kecil rata-rata jarang bersama untuk jangka waktu yang panjang.
Devie memberi contoh, durasi untuk tatap muka seorang ayah, ibu, dan anak, umumnya hanya berlangsung sesaat karena faktor kesibukan.
Lantas, selama masa awal pandemi, mereka seakan dipersatukan kembali di rumah, menghadapi satu sama lain 24 jam.
"Begitu mereka kembali bertemu untuk waktu yang lama, itu layaknya orang lain," kata Devie.
"Titelnya mungkin ayah, ibu, anak, sepupu, dan sebagainya, tetapi ketika semua di rumah, mereka jadi harus saling mengenal lagi satu sama lain dan itu bukan perjuangan yang mudah," tambahnya.
Dalam situasi penuh tekanan itu, tak sedikit orang mengalihkan stres ke aktivitas lain.
Penelitian Devie dengan klaim menganalisis 140 juta percakapan di media sosial selama hampir 8 bulan menemukan, ada 15 aktivitas baru yang menyeruak di masa pandemi sebagai pengalih stres.
Lima belas aktivitas baru itu, yakni memasak dan mencoba menu baru, belanja barang online, menggambar, koleksi barang, melihat video orang lain, menonton film, bersepeda, fotografi, menonton drama korea, hingga rebahan dan memelihara kucing serta ikan cupang.
“Tidak heran kalau kemudian, banyak orang yang berupaya mengalihkan dan menyalurkan beban yang mereka rasakan melalui hobi-hobi baru. Dengan memasak misalnya, seseorang dapat melupakan sejenak tuntutan-tuntutan pekerjaan keluarga, sekolah dan lain-lain," ungkap Devie.
“Di media sosial, muncul berbagai percakapan yang mengungkapkan bagaimana anggota keluarga yang merasa dinomorduakan oleh hobi seperti cupang atau tanaman hias. Seseorang lebih banyak melakukan 'diskusi' dengan cupang atau tanamannya,” tambahnya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/11/14/08094251/pandemi-covid-19-membuat-anggota-keluarga-merasa-dinomorduakan-ikan