JAKARTA, KOMPAS.com - Salah seorang anggota DPRD DKI Jakarta baru-baru ini mengungkapkan bahwa program "normalisasi" sungai telah dihapus dari draf perubahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Ibu Kota.
Di antara program penanganan banjir yang masih tersisa dalam draf tersebut adalah pembangunan waduk dan "naturalisasi" sungai.
Program normalisasi sendiri, yang mulai dieksekusi sejak era kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, telah menghilang.
Hal itu disampaikan oleh anggota DPRD dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Justin Untayana. Ia menyayangkan hilangnya program normalisasi tanpa disertai dengan penjelasan dari Gubernur DKI saat ini, Anies Baswedan.
"Sama sekali tidak ada penjelasan mengapa Pak Anies menghapus normalisasi sungai dari draf perubahan RPJMD," ungkap Justin, Selasa (9/2/2021).
Sejak awal menjabat sebagai gubernur, Anies bersikukuh untuk menggunakan istilah "naturalisasi" untuk merujuk pada program peningkatan kapasitas sungai.
Kata "normalisasi" sebelumnya digunakan untuk merujuk pada program yang sama di era pemerintahan Jokowi dan penerusnya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Apa beda kedua program tersebut? Simak ulasan lengkapnya di sini:
Betonisasi dalam normalisasi
Menurut catatan Kompas.id, normalisasi sungai sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, sejak abad ke-16.
Sungai Ciliwung yang disebut Sungai besar "diiris-iris" menjadi kanal untuk menyediakan alur pelayaran, alur pembuangan air, dan sarana pertahanan kota.
Istilah "normalisasi" kemudian baru naik daun pada tahun 2016, ketika 300 warga yang bermukim di bantaran Sungai Ciliwung direlokasi ke sejumlah rumah susun.
Langkah ini diambil agar pelebaran sungai dapat dilakukan.
Di antara aktivitas yang dilakukan dalam normalisasi tersebut adalah mengeruk sedimentasi, mengembalikan lebar sungai, memperlurus aliran sungai, membangun sodetan, dan membangun tanggul (betonisasi).
Lebih lanjut, masalah normalisasi sungai diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang serta Peraturan Zonasi, dan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030.
Pengamat tata kota Universitas Trisaksi, Nirwono Joga, mengatakan, normalisasi yang selama ini direalisasikan oleh Pemprov DKI merupakan hal keliru.
"Tujuan awal normalisasi adalah mengembalikan bentuk sungai sesuai dengan peruntukan awal, itulah (makanya) disebut dinormalkan, tetapi dalam praktiknya salah," ujar Nirwono kepada Kompas.com, Kamis (8/2/2018).
Normalisasi mestinya mengikuti bentuk sungai, bukan diluruskan dan dibeton seperti yang sudah-sudah.
Normalisasi dengan betonisasi dan meluruskan bentuk sungai akan membuat aliran sungai semakin cepat.
Tingginya kecepatan aliran air ini akan membawa lumpur dan sedimentasi yang cukup banyak.
Akibatnya, sungai akan cenderung cepat mendangkal. Betonisasi juga akan mengakibatkan kerusakan lingkungan, jelas Nirwono.
Naturalisasi yang lebih "manusiawi"
Naturalisasi yang dicanangkan Anies Baswedan merujuk pada pembangunan fisik yang menggunakan material bersifat alami dan ramah lingkungan.
Proses pelaksanaannya dilakukan secara "manusiawi".
Hal ini termuat dalam surat tertulis Gubernur DKI kepada Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane pada 27 Agustus 2018 lalu.
Selanjutnya, terbit Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi.
Pemahaman lain soal naturalisasi yang mirip dengan isi Pergub di atas disebut dalam paper "Urban Naturalization in Canada, A Policy and Guidebook" (Evergreen, 2001).
Naturalisasi merupakan proses restorasi ekologis untuk mengembalikan situs yang telah berubah atau rusak pada kondisi yang lebih alami.
Upaya ini melalui penggunaan pohon, semak, dan bunga yang sebelumnya pernah tumbuh di daerah tersebut.
Sejalan dengan itu, pengamat tata kota Nirwono mengatakan, naturalisasi merupakan metode penataan bantaran sungai yang lebih ramah lingkungan.
Sungai diperlebar dengan mengikuti bentuk alur sungai yang berkelok.
Alih-alih melakukan pembetonan, naturalisasi mewajibkan untuk penanaman lebih banyak pohon di bantaran sungai.
Selain untuk menyerap lebih banyak air, penanaman pohon juga bertujuan untuk mempertahankan ekosistem sungai.
"Nah dengan kelokan tadi, kecepatan air semakin pelan. Jalur hijau (yang dibuat di sepanjang sungai) membuat air lebih cepat diserap, jadi secara alami air masuk ke dalam tanah," kata Nirwono.
(Kompas.com/ David Oliver Purba; Kompas.id/ M Puteri Rosalina)
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/02/10/12215601/hapuskan-normalisasi-bagaimana-konsep-naturalisasi-sungai-ala-anies