Dia mengungkapkan hal itu setelah melakukan pemanggilan kepada Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti beserta jajarannya, Rabu (17/2/2021).
Teguh menyatakan, dugaan pemalsuan dokumen terjadi pada pihak pemberi kerja yang memanfaatkan lemahnya proses verifikasi data manual.
"Dan dugaan pemalsuan dokumen itu merupakan tindak pidana yang sepenuhnya menjadi kewenangan pihak kepolisian," kata Teguh melalui keterangan tertulis, Rabu.
Ombudsman menemukan adanya ketidakmampuan Sistem Informasi SDM Kesehatan (SISDMK) yang digunakan untuk mengirimkan undangan kepada calon penerima vaksin.
Data dalam sistem itu, sebut Teguh, bersumber dari kementerian atau lembaga terkait dalam menghadirkan data jumlah tenaga kesehatan yang berhak mendapatkan vaksinasi di Jakarta. dan kemungkinan pula terjadi di seluruh Indonesia.
Menurutnya, kegagalan sistem tersebut membuat banyak tenaga kesehatan yang tidak menerima undangan untuk vaksinasi.
Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan mengeluarkan kebijakan pendataan secara manual bagi tenaga kesehatan.
Namun pendataan secara manual itu tidak diimbangi dengan panduan kewajiban untuk melakukan pengecekan ulang data yang disampaikan. Untuk tenaga kesehatan, verifikasi data bisa dilakukan dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR) maupun data dari organisasi profesi.
Sementara bagi penunjang kesehatan, data diperoleh berdasarkan surat keterangan bekerja dari tempat bekerja. Data dari pemberi kerja penunjang kesehatan sepenuhnya tergantung pada itikad baik dari pemberi kerja.
Dampaknya, terjadi lonjakan kenaikan angka tenaga kesehatan dan tenaga penunjang dari target 120.040 menjadi 233.320 orang.
Dengan data ini, dipastikan tenaga kesehatan dan penunjang terdata dalam sistem. Namun, ada potensi penambahan penerima vaksin dari warga non-tenaga kesehatan dan penunjang yang mendapatkan vaksinasi.
"Sangat dimungkinkan terjadi pemalsuan dokumen atau keterangan dari pihak pemberi kerja tenaga penunjang karena belum adanya mekanisme kontrol terhadap proses penginputan data dan verifikasi data secara manual dari Kemenkes RI," ujar Teguh.
Kasus Helena Lim
Kasus Helena bermula ketika dia mengunggah rekaman video di akun Instagram @helenalim899.
Kala itu, Helena memperlihatkan dirinya disuntik vaksin Covid-19 di Puskesmas Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Dalam video tersebut, Helena terlihat datang bersama tiga orang lainnya untuk menerima vaksinasi.
Dia merekam kegiatannya menunggu giliran disuntik sampai akhirnya menerima vaksin Covid-19 .
Menurutnya, vaksinasi yang ia terima adalah suntikan pertama vaksin Covid-19. Sekitar dua minggu setelah vaksinasi pertama, Helena dijadwalkan kembali disuntik vaksin Covid-19.
"Ini yang pertama ya, nanti dua minggu lagi yang kedua," ujar Helena dalam video tersebut.
Video itu kemudian menjadi viral dan diperbincangkan warganet.
Pasalnya, saat ini, pemberian vaksin di Indonesia masih ditujukan kepada para tenaga kesehatan (nakes) dan penunjangnya, serta kaum lansia. Helena yang di media sosial disebut sebagai crazy rich Jakarta itu dinilai warganet bukan orang yang seharusnya mendapat prioritas vaksinasi.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/02/17/20135381/ombudsman-duga-ada-pemalsuan-dokumen-dalam-kasus-helena-lim