JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak berdiri dan diresmikan 43 tahun silam, Masjid Istiqlal pernah dua kali mengalami teror bom.
Teror Bom pertama kali terjadi pada 14 April 1978, hanya berselang dua bulan setelah masjid terbesar di Asia Tenggara itu diresmikan oleh Presiden Soeharto.
Sementara itu, teror bom kedua terjadi pada 19 April 1999. Sejak saat itu, keamanan di Masjid Istiqlal terus diperketat untuk mencegah teror serupa terulang.
Masjid Istiqlal yang semula didesain terbuka mulai dipasangi pintu dan pagar.
Dalam renovasi besar-besaran yang baru saja rampung dan diresmikan Januari 2021 lalu, sistem keamanan di Masjid Istiqlal juga dibuat lebih modern.
Wakil Ketua Bidang Penyelenggara Peribadatan Masjid Istiqlal Abu Hurairah mengatakan, masjid Istiqlal kini dipasangi kamera CCTV di berbagai titik.
"Jumlahnya ada 100 buah CCTV dan itu tersebar di seluruh bangunan dan pekarangan masjid seluas 10 hektar," kata Abu kepada Kompas.com, Selasa (23/2/2021).
Abu meyakini keberadaan kamera CCTV itu bisa mengantisipasi dan mencegah terjadinya kejahatan. Jika pun aksi kejahatan tetap terjadi, maka pelakunya bisa dengan mudah dideteksi.
"Untuk tenaga keamanan saat ini sudah cukup. Tapi kami juga berencana akan merekrut tenaga keamanan lagi," ucap Abu.
Abu menambahkan, saat ini Masjid Istiqlal masih ditutup untuk umum karena pandemi Covid-19 masih berlangsung. Namun, begitu pandemi mereda, ia memastikan Masjid Istiqlal yang baru selesai direnovasi ini akan menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi umat muslim untuk beribadah.
"Dan bukan hanya bagi umat muslim saja, tapi juga saudara kita non muslim, turis-turis asing bisa merasa aman ketika datang kesini. Tak perlu was-was saat masuk ke Masjid ini," kata dia.
Dilansir dari Surat Kabar Kompas edisi Senin (17/4/1978), ledakan di dalam Masjid Istiqlal memang disengaja.
Pangdam V/Jaya saat itu, Mayjen Norman Sasono menyatakan, ledakan di Masjid Istiqlal itu dipastikan menggunakan peledak TNT atau Trinitrotoluena.
Pada awalnya, pihak kepolisian langsung mengamankan tujuh orang untuk dimintai keterangan terkait peledakan tersebut.
Akan tetapi, seperti diwartakan Kompas edisi Selasa (18/4/1978), enam orang kemudan dibebaskan.
Kasus tersebut kemudian mendingin menyusul keputusan aparat untuk mendeponir perkara itu. Sehingga, sampai saat ini tidak diketahui siapa pelaku dan motif di balik peledakan tersebut.
Teror bom kembali terjadi di Masjid Istiqlal pada Senin (19/4/1999) siang.
Diberitakan Kompas edisi Selasa (20/4/1999), ledakan terjadi di pusat perkantoran di lantai dasar masjid terbesar di Asia Tenggara itu.
Tepatnya, ledakan terjadi di tepi koridor kantor sekretariat Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI).
Ledakan itu menyebabkan pecahnya lapisan batu pualam hitam di tembok. Hal itu juga membuat pintu dan kaca kantor pecah.
Nasib yang sama juga dialami kantor-kantor lain di sekitar BMOIWI, termasuk kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ada dua orang mengalami cedera akibat ledakan.
Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Metro Jaya kala itu, Mayjen (Pol) Noegroho Djajoesman mengatkaan, dari hasil pemeriksaan laboratorium forensik, bahan peledak di lantai dasar Masjid Istiqlal adalah TNT dengan pemicu peledaknya merupakan KClO3 (kalium chlorat).
Sekitar dua bulan setelah teror, Noegroho akhirnya mengungkapkan terduga pelaku peledakan di Masjid Istiqlal. Pada Senin (14/6/1999), ia menyatakan, sebanyak tujuh pelaksana lapangan yang terlibat langsung dalam peledakan tersebut telah ditahan di Polda.
Ketujuh tersangka yang diamankan berinisial Wwn (26), Nri (20), Bo (20), Smi (22), Jpa (17), Srd (18), dan Usi yang semuanya berprofesi sebagai pengamen di sekitar Istiqlal. Namun aktor intelektual pelaku bom tersebut tidak terungkap.
"Hubungan antara pelaksana di lapangan dengan intelektualnya terputus. Sebab, para tersangka melakukan peledakan itu di bawah tekanan dan ancaman, sementara perintahnya diberikan secara tertulis alias tidak pernah tatap muka," jelas Noegroho, dilansir dari Kompas edisi Selasa (15/6/1999).
Noegroho mengatakan, salah satu tersangka, Wwn, sempat didatangi seseorang yang belum dikenalnya pada awal April 1999. Orang tersebut menunjukkan foto keluarga Wwn sambil mengancam akan menganiaya keluarganya jika ia menolak diajak bekerja sama atau mengikuti perintah.
Sejak saat itu, Wwn mengaku tidak pernah lagi bertemu orang itu dan hanya menerima perintah tertulis.
Wwn dan enam tersangka lain pun melaksanakan perintah untuk meletakkan bom di Masjid Istiqlal.
Setelah penyelidikan, polisi menjerat para tersangka dengan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12/Drt/ 1951. Ancaman hukuman terberat adalah hukuman mati.
Akan tetapi, setelah melalui proses persidangan, para tersangka mendapat hukuman lebih ringan. Surya Setiawan alias Wawan, misalnya. Pada Senin (18/10/1999), divonis kurungan penjara selama 3,5 tahun.
Dalam amar putusannya, Hakim Rasudi Salamun dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyebut usia Wawan yang masih muda, belum pernah dihukum, serta masih bisa memperbaiki diri merupakan hal-hal yang meringankan terdakwa.
Yang masih menjadi misteri hingga hari ini adalah motif di balik peledakan tersebut dan sosok yang Noegroho sempat sebut telah menekan para tersangka untuk meneror Masjid Istiqlal.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/02/23/10522721/dua-kali-teror-bom-di-masjid-istiqlal-dan-keamanan-yang-terus-diperketat