JAKARTA, KOMPAS.com - Pada Rabu (5/3/2014) malam, kediaman Suroto dan Elisabeth Diana di Kelurahan Jati, Pulogadung, Jakarta Timur didatangi polisi yang mengabarkan anak semata wayang mereka, Ade Sara Angelina Suroto (19), ditemukan tak bernyawa.
Suroto dan Elisabeth kehilangan kontak dengan Sara sejak Senin (3/3/2014) siang meski mereka berulang kali menghubungi nomor telepon seluler putrinya.
Mereka juga menghubungi teman-teman dekat putrinya, tapi hasil nihil.
Hingga akhirnya polisi menyampaikan kabar ke Suroto dan Elisabeth bahwa seorang perempuan muda yang diduga Sara ditemukan tewas di kilometer 41 Tol JORR ruas Bintara, Bekasi, Jawa Barat.
Memaafkan pembunuh Sara
Saat jenazah Sara masih berada di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, untuk disemayamkan, Suroto dan Elisabeth mengetahui dari polisi bahwa pembunuh putrinya adalah Ahmad Imam Al Hafitd.
Mereka tahu Hafitd sebagai mantan pacar Sara yang telah lama putus.
Kemudian, polisi juga menginfokan bahwa ada pelaku lain bernama Assyifa Ramadhani yang adalah pacar baru Hafitd.
Sakit hati menjadi motif keduanya membunuh Sara, meski alasannya berbeda.
Hafitd membunuh Sara karena sang mantan tidak mau dihubungi apalagi bertemu, sementara Assyifa cemburu dan khawatir pacarnya kembali berpacaran dengan Sara.
Dalam rasa duka luar biasa yang mereka rasakan, Elisabeth mengatakan ia memaafkan pembunuh putrinya.
"Saya yakin mereka anak yang baik. Hanya, saat itu mereka tidak bisa menguasai sisi jahat dari diri mereka," ujar Elisabeth setelah pemakaman Sara di TPU Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur, Jumat (7/3/2014).
Elisabeth menceritakan, ia tahu ketika Sara berpacaran dengan Hafitd saat SMA. Namun, hubungan keduanya memburuk setelah putus.
Hafitd bahkan sering melontarkan bahasa kasar terhadap Sara melalui Twitter.
"Saya bilang begini, kalau sudah putus, ya sudah jaga hubungan yang baik. Tapi, dia (Sara) bilang 'enggak bisa Ma' (Mama-red). 'Mama enggak tahu sih'. Dia (Sara) tunjukkan ke saya perkataan Hafitd di Twitter, dia foto dan kirim ke saya. Memang pantas (Sara) marah. Saya bisa menyadari, (perkatan Hafitd) kurang sopan," ujar Elisabeth.
Sempat tak kenali jenazah
Suroto mengatakan, ia sempat ragu ketika diminta untuk mengidentifikasi jenazah Sara.
Pasalnya, wajah putrinya sudah menghitam sehingga sulit dikenali.
"Sara meninggal dengan tidak wajar. Ada pukulan-pukulan di daerah tertentu yang menyebabkan pembusukan lebih awal," ujar Suroto dalam wawancara di program Mata Nadjwa Metro TV, pada 29 Oktober 2014.
"Mukanya sudah hitam sekali. Sudah enggak dikenalin. Bahkan bola matanya 90 persen sudah keluar. Jadi memang sudah sulit dikenali," terangnya.
Suroto pun sempat menyangkal bahwa perempuan muda yang terbujur kaku di hadapannya adalah Sara.
"Saya sendiri awalnya tidak percaya itu Sara. Saya bilang ke istri saya: 'Ma, itu bukan Sara'. Tapi kembali lagi ke sidik jari. Kalau bukan Sara, ini siapa?" ucap Suroto.
Elisabeth, dalam acara yang sama, membenarkan pernyataan suaminya. Karena, selain wajah, kondisi rambut Sara sudah berbeda dari yang ia lihat saat putrinya masih hidup.
"Sudah dipotong rambutnya. Kemudian rambut aslinya bergelombang, karena dicatok jadi lurus. Tapi, di ruang jenazah sudah bergelombang, rambutnya tinggal segini. Jadi bukan seperti Sara yang masih hidup," cerita Elisabeth.
Rasa sesak Elisabeth rasakan karena ia tidak bisa mencium dan memeluk putrinya untuk yang terakhir kali.
"Iya (tidak bisa kenali wajah Sara). Mau cium-cium juga enggak bisa, mau peluk juga enggak bisa..." kata Elisabeth lirih.
Ujian kesabaran
Suroto kala itu masih menyayangkan Hafitd, yang pernah berhubungan baik dengan putrinya, harus membunuh Sara.
"Kehidupan itu adalah pilihan, ya. Tuhan memberikan keleluasan kepada umatnya untuk memilih," ujar Suroto dalam tayangan yang sama.
"Seperti Hafitd dan Assyifah. Sebenarnya dia punya pilihan untuk menyelesaikan dengan baik. Tapi, kenapa dia memilih menyelesaikan dengan cara membunuh? Dia enggak mikir bahwa setelah Sara meninggal, hidup masih berjalan. Dia sekarang berurusan dengan hukum," urainya.
Diakui Suroto dan Elisabeth, tetap hadir di persidangan kasus kematian putrinya begitu menguji diri mereka.
"Saya sebetulnya enggak bertenaga. Ada sahabat saya yang nemenin saya, megang tangan saya tiap saya bilang saya enggak kuat. Dia ingatkan saya berdoa. Saya cukup mendapat kekuatan," kata Elisabeth sembari menghapus air matanya.
Ujian lain bagi orangtua Sara adalah kesaksian dari para terdakwa selama persidangan yang menurut mereka kurang jujur.
Ketika mereka telah memutuskan memaafkan pembunuh Sara, Hafitd dan Assyifah mengupayakan eksepsi dan pledoi demi pengurangan masa hukuman.
"Harapan saya dan istri saya hanya agar para terdakwa ini berbicara jujur di pengadilan. Faktanya, mereka selalu berkelit. Apa yang disampaikan saksi-saksi, ada beberapa mereka menyanggah dan tidak mengakui," kata Suroto.
"Tapi kembali lagi, semua kecurangan dan semua kebohongan akan terungkap, saya mensyukuri Tuhan bekerja di situ bahwa setiap kata yang tidak jujur, mereka dicemooh. Karena (pengakuan terdakwa) tidak masuk akal," sambungnya.
Suroto mencontohkan saat Assyifa bersaksi bahwa Sara memakan tisu yang ia sumpalkan ke dalam mulut korban.
Saking menurutnya tidak logis, Suroto sengaja memakan tisu untuk membuktikan. Percobaannya membuktikan, tisu tidak sampai ke tenggorokan dan hanya berada di rongga mulut.
"Kecuali didorong dengan tangan supaya masuk (ke tenggorokan). Saking gregetan (mencoba makan tisu)," beber Suroto.
Keadilan yang menyesakkan
Kematian Sara, diakui Suroto dan Elisabeth, telah mengubah hidup mereka secara ke seluruhan.
"Sepi di rumah. Kalau dulu ada Sara yang rame, menghibur, kayak teman. Sekarang tinggal berdua. Walau ada yang menemani, itu semua tidak menggantikan. Kehidupan kami total berubah. Bahkan sampai kami gajian (mikir), buat apa gitu," kata Suroto.
Elisabeth mendukung pernyataan suaminya.
"Dulu kalau misalnya kerja, sudah akhir bulan, ada anak saya telepon: 'Mama'. Terus dia menggoda, minta traktir: 'Sara tahu Mama dapat gaji kan? Ayo donk'. Sekarang tidak ada lagi," ujar Elisabeth.
"Biasanya orangtua kerja buat anak ya. Kalau anak enggak ada rasanya penyemangat kita kerja itu enggak ada," lanjutnya dengan air mata berlinang.
Suroto dan Elisabeth saat itu tidak menuntut banyak dari hasil persidangan.
"Karena saya sadar anak saya tidak akan kembali lagi," ucap Elisabeth.
Meski demikian, mereka berharap Hafitd dan Assyifa mendapat hukuman setimpal dengan kesalahan.
Setelah sekitar empat bulan sidang berlangsung, Hafitd dan Assyifa pun dijatuhkan vonis oleh majelis hakim pada sidang putusan, Selasa (9/12/2014).
Majelis hakim menjatuhkan hukuman selama 20 tahun bagi sejoli pembunuhan Ade Sara ini.
"Menyatakan terdakwa Assyifa Ramadhani telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pembunuhan berencana dan menjatuhkan pidana selama 20 tahun," ujar Ketua Majelis Hakim Absoro di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Vonis tersebut bahkan diperberat menjadi seumur hidup setelah Mahkamah Agung mengabulkan kasasi dari jaksa penuntut umum Aji Susanto.
Permohonan kasasi terhadap tervonis Hafitd dikabulkan pada 9 Juli 2015 dengan nomor register 793 K/PID/2015.
Sementara itu, permohonan kasasi terhadap Assyifa selaku tervonis dikabulkan pada 9 Juli 2015 dengan nomor register 791 K/PID/2015.
Ketika mengetahui pembunuh anaknya divonis lebih berat, Suroto kala itu mengaku bingung dengan perasaannya.
"Saya sulit menjawab pertanyaan puaskah, adilkah, atau apakah hukuman sudah pantas. Itu semua sulit dijawab karena kedukaan juga akan melekat seumur hidup saya," kata Suroto kepada Kompas.com, Jumat (24/7/2015).
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/03/05/16332801/dalam-duka-suroto-dan-elisabeth-berbesar-hati-memaafkan-pembunuh-ade-sara