JAKARTA, KOMPAS.com - LS, seorang perempuan yang menjadi contact tracer di Jakarta harus mengelus dada. Sebab, insentif atas jasanya dua bulan terkhir belum dibayarkan.
Saat dihubungi Selasa (9/3/2021), dengan nada pilu LS mengaku bahwa dia belum menerima pembayaran insentif untuk Januari dan Februari 2021.
Pembayaran insentif yang terlambat itu membuat LS merasa tercekik saat melakoni pekerjaannya di Puskesmas kawasan Jakarta Utara.
Bahkan, LS juga menampung curahan hati rekan seprofesinya, yang mengaku sempat menggadaikan emas untuk tetap bertahan hidup dan menjalani tugasnya.
"Kalau saya kebetulan sudah bersuami, jadi bisa menopang hidup, untuk makan saja ada dari gaji suami. Tapi ada teman yang sampai pinjam uang bahkan gadai emas segala macam," kata LS.
LS pun memaklumi upaya rekannya yang meminjam uang dan menggadaikan emas agar tetap bisa menuntaskan tanggung jawab sebagai contact tracer dalam penanganan kasus Covid-19 di Jakarta.
Karena itu, insentif yang dihitung per hari kemudian diakumulasi dalam satu bulan sangat dibutuhkan bagi relawan contact tracer.
Padahal, dua bulan pertama kala dirinya baru bergabung sebagai contact tracer, yakni pada November dan Desember 2020, LS menyebut pembayaran insentif sangat lancar.
"Insentif Rp 210.000 dan uang transport Rp 150.000 jika turun ke lapangan atau ke rumah pasien. Uang pulsa Rp 200.000 per bulan. Nanti diakumulasikan dan dilaporkan setiap akhir bulan. Kemudian dibayarkan," ucap LS.
Hingga saat ini, LS dan rekan seprofesinya mengaku hanya dapat menelan janji manis soal pembayaran insentif, transport dan pulsa.
Berbagai alasan diterima LS dari hari ke hari soal keterlambatan haknya.
Pada 8 Februari, misalnya, LS menerima kabar melalui surat edaran BNPB berkait isu keterlambatan insentif Januari 2021 yang disebutnya terganjal persoalan harmonisasi dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
"Tanggal 22 Februari itu keluar lagi surat edaran kenapa bisa telat, karena harus penunjukan penanggungjawab keuangan dan ada laporan yang belum selesai di isi surat itu. Teman teman masih sabar menunggu," kata LS.
Kini kegelisahan LS dan sesama contact tracer bertambah. Bukan hanya soal keterlambatan pembayaran insentif, melainkan masa kontrak yang akan berakhir.
LS mengetahui kabar itu setelah rapat secara daring bersama BNPB pada 28 Februari 2021.
"Istilahnya kalau kontrak dengan BNPB selesai. Katanya akan di kontrak dengan Kemenkes. Tapi dari Kemenkes itu bukan dilanjutkan oleh tracer kita ini," katanya.
LS menyebut, jasanya yang selama ini diabdikan selama lebih dari tiga bulan akan digantikan Ketua RT atau RW lingkungan yang telah dilatih.
"Bahkan teman teman di lapangan sudah disiapkan kader di wilayah kelurahan RT atau RW itu yang jadi tracer. Jadi kita belum tahu nasib kita," katanya.
Saat ini, LS tak berharap lebih akan statusnya menjadi contact tracer. Hanya saja, ia masih berharap agar insentif dapat diterima sebelum masa kontrak berakhir.
LS yang sedang mengandung sangat membutuhkan insentif untuk ditabung guna mempersiapkan persalinannya.
"Sebenarnya kalau mau resign tidak masalah. Kalau mau berhenti ya berhenti saja. Kalau aku jujur saja, kalau aku kondisi sedang hamil dan cari kerjaan baru, sulit ada yang menerima. Jadi bertahan sambil menunggu," katanya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/03/09/19274331/cerita-relawan-contact-tracer-di-jakarta-terpaksa-gadaikan-emas-karena