Salin Artikel

Prangko, Alat Bayar Pos yang Bermetamorfosis Jadi Benda Bernilai Investasi

Di Indonesia, tepat hari ini, Hari Filateli Nasional sudah 99 kali diperingati. Ironis, jelang ulang tahun ke-100, bangsa ini hampir melupakan prangko.

“Karena kecanggihan teknologi memang orang berkirim surat pakai prangko sekarang itu jarang. Sebetulnya di negara-negara maju masih pakai prangko, kenapa di Indonesia malah dihilangkan?” ungkap Gita Noviandi, Sekretaris Jenderal Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI), kepada Kompas.com, Selasa (23/3/2021).

Filateli sebetulnya bukan soal prangko belaka, melainkan mencakup segala turunan dari aktivitas surat-menyurat.

Sampul-sampul surat klasik, misalnya, ujar Gita, kini sedang banyak diburu.

Organisasi filateli dapat dikatakan mendunia.

Selain mudah dijumpai di tingkat nasional, organisasi ini juga ada di level regional (semisal Asia-Pasifik) bahkan internasional, seperti federasi-federasi sepakbola yang menginduk ke FIFA.

Hal ini menandakan bahwa, kendati pos telah digulung arus deras era informasi, tetapi ihwal surat-menyurat dan prangko masih menyimpan nilai tersendiri di zaman kiwari.

Prangko pertama kali diterbitkan di Inggris, 6 Mei 1840, bergambar Ratu Victoria.

Bak cendawan di musim penghujan, prangko-prangko pun bermunculan di banyak negara di dunia.

Indonesia, yang saat itu masih Hindia-Belanda, menerbitkan prangko perdana pada 1 April 1864 bergambar Raja Willem III.

Dengan cepat, kemunculan prangko diikuti dengan kegemaran orang-orang mengoleksinya.

Belakangan, terbentuklah perhimpunan para kolektor prangko di beberapa negara.

Begitu pun di Hindia-Belanda. Komunitas filatelis mulai bertumbuh pada era kolonial. Hampir 58 tahun usai penerbitan prangko perdana, klub filateli lokal berdiri pada 29 Maret 1922.

Kelahiran klub filateli di Batavia bernama Postzegelverzamelaars Club Batavia itu menjadi cikal-bakal Hari Filateli Nasional yang diperingati saat ini.

Pesona filateli tak berhenti sampai di situ, sebab terbentuknya Postzegelverzamelaars Club Batavia menginspirasi kelompok-kelompok filatelis lokal di beberapa daerah lain.

Kelompok-kelompok ini belakangan berhimpun dalam gerakan yang terorganisasi secara nasional: Nederlandsch Indische Vereniging van Postzegel Verzamelaars, pada 15 Agustus 1940.

Bagaimana nasib klub filateli pasca-Kemerdekaan?

Perkumpulan itu tetap eksis dan namanya diubah menjadi Algemene Vereniging Voor Philatelisten In Indonesia.

Tahun 1953, organisasi itu menjadi Perkumpulan Umum Philateli Indonesia, yang 12 tahun kemudian berganti nama menjadi Perkumpulan Philatelis Indonesia (PPI).

Organisasi ini bukan sekadar wadah berhimpunnya para komunitas penghobi prangko dan kerabatnya.

Tahun 1969, Indonesia menjadi anggota federasi filateli dunia, Federation International de Philatelie (FIP), yang berkedudukan di Swiss.

Lima tahun berselang, Indonesia dan sejumlah anggota FIP di Asia membentuk federasi filateli regional bernama Federation of Inter-Asian Philately (FIAP). Kedudukannya ada di Singapura dan melingkupi organisasi filateli wilayah Asia-Pasifik.

Tahun 1985, nama Perkumpulan Philatelis Indonesia disesuaikan jadi Perkumpulan Filatelis Indonesia, PFI yang sekarang kita kenal.

Prangko bahkan bisa bermetamorfosis sebagai alat yang dapat membuktikan kedaulatan sebuah bangsa.

Kompas menyebutkan, prangko pertama pemerintah RI, misalnya, diterbitkan bergambar banteng dan bendera merah-putih pada 1 Desember 1946.

Prangko ini dapat diartikan sebagai simbol kebebasan, sekaligus unjuk gigi kedaulatan pemerintah RI yang ketika itu terancam kembali diserobot Belanda.

“Yang paling penting itu (prangko) sebagai alat diplomasi. Indonesia dulu dilihat dari perangko, ‘Oh, jadi sudah merdeka.’ Jadi, prangko yang kecil ini sebagai alat pemersatu bangsa,” ucap Gita.

Berikutnya, Indonesia pernah menerbitkan prangko Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang diterbitkan bersamaan dengan KAA di Bandung, Jawa Barat, pada April 1955.

Indonesia, sebagai tuan rumah konferensi, menyampaikan pesan perlawanan terhadap imperialisme lewat prangko.

Prangko pun pernah dipakai jadi alat komunikasi, atau boleh jadi, propaganda pemerintah kepada rakyat.

Setelah Dekrit Presiden 1959 diteken Presiden Soekarno, prangko bertuliskan “Kembali ke UUD 1945” terbit menyusul dalam ragam pecahan: dari 20, 50, 75 sen, sampai Rp 7,5.

Rezim Orde Baru pun pernah menerbitkan prangko Pelita pada 1969 untuk menyampaikan rencana pembangunan lima tahun Repelita I.

Ada pula prangko bergambar deretan rumah bertuliskan “Pemerataan Kebutuhan Perumahan” yang diterbitkan 1979, saat pemerintah menjalankan program pemenuhan perumahan rakyat.

“Pada era Bung Karno (Presiden Soekarno) dan Pak Harto (Presiden Soeharto), banyak hasil kerja, program pembangunan, dan gagasan dituangkan dalam prangko. Ini yang sekarang makin langka,” kata Fadli Zon, Ketua Umum PFI, dikutip Kompas dalam diskusi virtual serius tapi santai bertema "Rekam Jejak Langkah Presiden dan Wapres RI dalam Prangko" pada 12 Agustus 2020.

Namun, kebiasaan ini hilang di Era Reformasi. Fadli beranggapan, capaian-capaian pemerintahan Era Reformasi semestinya bisa “direkam” dalam prangko.

Kemampuan prangko merekam situasi zaman ketika diterbitkan akhirnya menjadi salah satu sebab prangko bertahan saat ini.

Bukan sekadar bertahan, tetapi juga digandrungi dan bernilai tinggi. Prangko bermetamorfosis menjadi alat investasi.

“Di filateli itu ada kelas yang dipertandingkan. Kalau saya kebetulan kelasnya tematik karena saya mengumpulkan tema pramuka. Jadi, saya menceritakan pramuka lewat prangko,” ungkap Gita.

Gita menambahkan, ganjaran bagi pemenang “pertandingan” ini pun cukup tinggi.

“Kalau orang yang mengerti, ini kan barang hobi ya, dan enggak ada undang-undangnya bahwa ini barang mahal. Sebetulnya, kalau yang ngerti menyimpan barang, ini luar biasa,” kata Gita.

https://megapolitan.kompas.com/read/2021/03/29/05393911/prangko-alat-bayar-pos-yang-bermetamorfosis-jadi-benda-bernilai-investasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke