JAKARTA, KOMPAS.com - Tugu Pamulang di Jalan Siliwangi, Tangerang Selatan, Banten, menjadi sorotan belakangan ini karena lebih berbentuk toren air daripada sebuah tugu.
Monumen tersebut hanya terdiri dari tiang-tiang panjang dan melingkar. Di bagian atasnya dipasang kubah berwarna putih.
Tidak ada ornamen atau hiasan apapun pada tugu yang disebut-sebut merupakan ciri khas kawasan Pamulang itu.
Mengadopsi bentuk Tugu Banten Lama
Pemerintah Provinsi Banten menyebut, Tugu Pamulang itu diadopsi dari bentuk Tugu Banten Lama yang berada di kompleks Masjid Agung Banten.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Banten M. Tranggono menjelaskan, Tugu Pamulang sengaja dirancang menyerupai menara di kompleks masjid tersebut.
Namun, bentuk Tugu Pamulang dibuat lebih minimalis dan hanya mengadopsi bagian kubah di atas menara.
"Jadi filosofinya mengambil seperti Banten Lama, Tugu Banten Lama, dibuat minimalis. Makanya pada perjalanan tadi, adendum dibuat kaya masjid," ujar Tranggono saat dihubungi, Senin (12/4/2021).
Menurut Tranggono, Tugu Pamulang sengaja dibuat minimalis karena terkendala anggaran yang tersedia pada tahun 2017.
Melihat Tugu Banten Lama
Tugu Banten Lama yang dimaksud Pemprov Banten adalah sebuah menara setinggi 24 meter yang terletak di Masjid Agung Banten di Desa Banten Lama, sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang, Banten.
Berdasarkan jurnal yang ditulis Ulama Andika, berjudul "Makna Bangunan Menara Masjid Agung Banten", diketahui bahwa rumah ibadah tersebut merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia.
Masjid Agung Banten merupakan situs bersejarah di Kota Serang. Masjid ini dibangun oleh Sultan Maulana Hasanuddin, Putra dari Sunan Gunung Jati, sekitar tahun 1552-1570.
Masjid ini dikenali dari bentuk menaranya yang sangat mirip dengan bentuk sebuah mercusuar.
Menara tersebut untuk tempat mengumandangkan azan serta tempat memantau keadaan di Teluk Banten.
Ada dua arsitek yang terlibat dalam pembangunan kompleks masjid tersebut. Mereka adalah arsitek Tionghoa, Tjek Ban Tjut, dan Raden Sepat.
Raden Sepat merupakan arsitek dari kerajaan Hindu Majapahit yang telah berpengalaman membangun masjid, seperti Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Cirebon, Jawa Barat.
Pengaruh Hindu-Buddha
Menurut jurnal yang ditulis tahun 2017 itu, diketahui bahwa menara tersebut dipengaruhi oleh arsitektur agama Buddha dengan adanya padma (bunga teratai) di puncak menara.
Dalam agama Buddha, bunga teratai mengandung makna lingkaran kesucian serta falsafah hidup tinggi.
Pola bunga teratai terhadap artefak arsitektur di Indonesia juga dapat dilihat dari bentuk pola candi Borobudur yang apabila dilihat dari atas menyerupai bentuk geometri dari bunga teratai.
Di samping itu, beberapa ahli berpendapat bahwa pintu masuk menara dianalogikan sebagai pintu masuk candi Hindu-Buddha.
Pintu tersebut memiliki motif relung yang seakan-akan merupakan penyederhanaan motif kala-makara dalam tradisi kebudayaan Indonesia pra-Islam.
Kala-makara dipercaya sebagai makhluk mitologi yang bertugas menjaga pintu candi dari gangguan roh jahat
Pengunjung yang ingin naik ke atas menara dapat melalui lorong tangga melingkar.
Selain dipengaruhi budaya Hindu-Buddha, banyak yang meyakini bahwa bangunan menara juga terpengaruh budaya Eropa.
Pengaruh ini dapat dilihat dari sisi-sisi menara yang berjumlah delapan. Selain itu, kepala menara terdiri dari dua tingkat.
Tingkat pertama berbentuk kubah dan mempunyai teras, sedangkan di tingkat kedua terdapat kubah yang lebih kecil.
Menara bersegi delapan seperti itu lazim ditemukan di Belanda, lengkap dengan tangga melingkar dan kepala bertingkat dua, ujar Ulama Andika di dalam jurnalnya.
Namun, Kepala Seksi Pendidikan dan Informasi Masjid Agung Banten, M. Al-Hatta Kurdie, meyakini bahwa segi delapan pada menara merupakan ide cerdas dari Raden Sepat.
Pasalnya pada saat masjid itu dibangun, Belanda belum masuk ke Indonesia.
Segi delapan pada menara dan ke 24 tiang penyangga atap masjid itu merupakan ide cerdas dari Raden Sepat, ungkap Hatta Kurdie.
Delapan itu merupakan hasil pembagian dari 24 dibagi 3. Ke-24 tiang itu simbol waktu, 24 jam.
Sementara 3 adalah simbol dari ibadah, ma’isyah (mencari penghidupan) dan istirohah (istirahat).
Jadi pesan yang ingin disampaikan, agar umat Islam bisa memanfaatkan waktu seadil-adilnya untuk ketiga hal tersebut yang masing-masing memiliki alokasi waktu sebanyak 8 jam.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/04/16/10521211/tugu-banten-lama-yang-jadi-inspirasi-tugu-pamulang-kini-bersejarah-dan