Masjid tersebut merupakan masjid tertua di Kota Tangerang. Usianya kini 445 tahun.
Terletak di Kelurahan Sukasari, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang, Masjid Jami Kalipasir berdiri di tengah-tengah permukiman warga.
Masjid itu memiliki warna krem di dinding luarnya dan didominasi warna putih di bagian dalam. Gentingnya berwarna hijau.
Bangunan masjid itu sejatinya menghadap ke arah barat, tepatnya menghadap ke Sungai Cisadane. Namun, tak ada pintu masuk di bagian muka masjid itu.
Di bagian muka masjid yang merupakan halaman utama terdapat sejumlah makam.
Jemaah yang akan memasuki area peribadatan, pun berziarah ke makam-makam di sana, bisa masuk melalui pintu yang terletak di sisi utara dan sisi selatan masjid.
Begitu memasuki area dalam masjid, jemaah akan melihat kokohnya empat pilar berwarna hitam yang berdiri tepat di bagian tengah Masjid Jami Kalipasir.
Kata Sjairodji, tidak ada yang mengetahui orang yang meresmikan bangunan tersebut sebagai masjid.
Namun, lanjut dia, yang memutuskan masjid itu berdiri pada 1576 adalah Tobari Ashajili, seorang ulama di Kota Tangerang sekaligus pemilik pesantren di Periuk, Kota Tangerang.
"Yang menentukan tahun berdirinya masjid ulama juga. Masih ada orangnya sekarang, yaitu KH Tobari Ashajili," ungkap Sjairodji saat ditemui, Rabu (21/4/2021).
Berawal dari gubuk kecil
Sebelum ditetapkan sebagai masjid pada 1576, Masjid Jami Kalipasir sudah difungsikan sebagai tempat ibadah sejak seratusan tahun sebelumnya, tepatnya pada 1412.
Saat itu, Sjairodji menjelaskan, seorang penyiar agama Islam bernama Ki Tengger Jati datang dari Kerajaan Galuh Kawali.
"Mereka datang kemari dengan tujuan untuk syiar Islam. Yang sebelumnya, dia mempelajari agama Islam kepada seorang guru yang bernama Syekh Syubakir," papar Sjairodji.
Saat Ki Tengger Jati tiba di Kota Tangerang, lahan di Kelurahan Sukasari, yang saat ini menjadi tempat berdirinya Masjid Jami Kalipasir, masih berupa hutan.
Penyiar agama Islam itu lantas membuat gubuk kecil untuk tempat tinggal dan juga tempat beribadah.
"Kurun waktu empat tahun, 1416, ini semakin diperbesar tempat ibadahnya," kata Sjairodji.
"Kenapa diperbesar? Ini pengaruh Sungai Cisadane, dulu namanya Sungai Cipamungkas. Ini (Sungai Cisasane) merupakan jalur transportasi," imbuh dia.
Karena Sungai Cisadane dilewati banyak orang, Masjid Jami Kalipasir yang persis di seberang sungai itu didatangi banyak pelancong.
Kata Sjairodji, banyak orang yang singgah dan menetap di masjid tersebut. Faktor itulah yang membuat masjid tersebut diperluas.
Kegiatan peribadatan terus berjalan di Masjid Jami Kalipasir, hingga pada 1445 ada seorang ulama dari Persia yang singgah di masjid tersebut.
Ulama besar itu bernama Said Hasan Ali Al-Husaini, atau lebih dikenal dengan nama Syekh Abdul Jalil.
"Tujuan asli beliau sebenarnya bukan ke sini, tapi ke daerah lain di Banten, tapi singgah di sini. Dengan kedatangan beliau di sini juga, masjid semakin diperbesar," tutur Sjairodji.
Sjairodji menuturkan, masjid itu sama sekali tidak pernah dialihfungsikan sebagai tempat lain.
Sejak 1412 hingga saat ini, Masjid Jami Kalipasir selalu digunakan sebagai tempat peribadatan muslim.
"Enggak pernah (dialihfungsikan). Masjid ini ya tetap sebagai masjid, untuk orang-orang shalat. Beberapa saat dijadikan sebagai tempat singgah, tapi tidak pernah dialihfungsikan," tuturnya.
Salah satu pilar pemberian Sunan Kalijaga
Sjairodji menyatakan, empat pilar yang berdiri kokoh di dalam masjid itu sama sekali tidak pernah direvitalisasi.
Bahkan, salah satunya merupakan pemberian istimewa dari Sunan Kalijaga, salah satu tokoh agama Islam yang juga Wali Songo.
"Yang sampai sekarang masih ada peninggalan sejarahnya adalah empat tiang penyangga ini," ujar Sjairodji.
"Di dalam penjelasan menurut sejarah, bahwa satu di antaranya diberikan oleh Sunan Kalijaga," imbuh dia.
Hingga 2018, kata dia, tidak ada yang mengetahui pilar mana yang merupakan pemberian Sunan Kalijaga.
Barulah pada 2018, sejumlah ulama berkumpul di masjid tersebut.
Mereka memperbincangkan perihal pilar yang diberikan Sunan Kalijaga.
Kata Sjairodji, ada salah satu ulama yang mengetuk pilar itu satu per satu menggunakan tangannya.
Ulama tersebut lantas mendengar suara yang berbeda dari salah satu pilar ketika diketuk.
Ulama itu meyakini, pilar yang mengeluarkan suara berbeda adalah pemberian Sunan Kalijaga.
"Ini, pilar yang ada di kiri belakang yang adalah pemberian Sunan Kalijaga," ucap Sjairodji.
Sjairodji menambahkan, empat pilar itu sebenarnya tak memiliki arti khusus. Jumlah pilar yang ada pun juga tidak merepresentasikan apa pun.
Namun, ada yang menafsirkan empat pilar tersebut merepresentasikan sahabat Rasulullah SAW.
"Contoh, ini cuma contoh, ada orang mengatakan Khulafaur Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Ada yang mengartikan ke situ. Silakan menafsirkan ke situ, tapi pilar ini tidak punya makna," kata Sjairodji.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/04/22/03200091/sejarah-masjid-jami-kalipasir--tertua-di-kota-tangerang-berawal-dari