Thrifting merupakan tindakan membeli barang bekas yang masih layak pakai guna menghemat pengeluaran. Tren ini juga bisa mengurangi limbah tekstil.
Tren thrifting ini pun menjadi napas baru bagi para pedagang di Pasar Senen, Jakarta Pusat yang terus merugi semenjak dua kali kebakaran terjadi.
Untuk menyiasati pembelian di toko yang merosot tajam, apalagi sejak ada pandemi, toko-toko di pasar itu mulai menjajakan produknya lewat online shop.
Hal tersebut disampaikan Tedy (31) yang berbisnis pakaian bekas dengan menjaring teman-temannya yang terkena pemutusan hubungan kerja.
"Saya buka ini bantu teman-teman yang pengangguran tapi saya prioritasin mereka berkeluarga tapi enggak punya penghasilan," ujar Tedy kepada Kompas.com, Senin (7/6/2021).
Menurut dia, di tengah pandemi Covid-19, salah satu bisnis yang mampu bertahan adalah dengan thrifting ini, lantaran barang yang di jual terjangkau dengan daya beli masyarakat.
"Ini bisnis yang paling bertahan karena daya beli mereka masih sanggup," ucap Tedy.
Dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan baju baru, pemuda asal Parung, Bogor ini mengaku tetap mendapat untung. Besarannya, sebut dia, cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Alhamdullilah tertutup karena di lapak itu kan universal jadi beda sama online. Kalau cari untung Rp 100.000-Rp 200.000 ketemu lah dapat uang makan dan mengurangi pengangguran," ungkap dia.
Sementara itu, Dimas (21), pemilik salah satu thrift shop juga mengaku pemasukannya meningkat dari karena penjualan online.
"Lebih banyak online karena mungkin kondisi corona mereka duduk manis di rumah barang sampai jadi main ke online, karena orang sekarang ibaratkan jarak Rp 10.000 - Rp. 20.000 mending ke online sama aja ongkos ke Senen segala macam," paparnya.
Jika melihat karakter para pembeli setianya, Dimas berujar pelanggan perempuan lebih mengutamakan kualitas bahan, daripada merk.
Sementara pelanggan pria lebih selektif dalam memilih produk yang akan dibeli seperti melihat merk yang dijual.
"Kalau cowok cari barang yang susah dicari dan bermerk seperti Zara, Tomy Hilfiger, ya merk ke atas. Kualitas untuk cowok itu berbeda dengan cewek kualitas juga berbeda," paparnya.
Dengan munculnya fenomena thrifting yang menjadi bisnis baru bagi masyarakat, membuat pedagang menginginkan agar peraturan yang melarang impor pakaian bekas agar dicabut.
Larangan impor pakaian bekas sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015. Larangan itu juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Dalam beleid itu, impor baju bekas dilarang dengan alasan melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup.
"Intinya pemerintah bantu kita supaya harganya bisa kita tekan, terus kalaupun ditarik kita dikenai pajak ya kita bicara dulu bersama-sama pemerintah," ujar salah satu suplier pakaian bekas, Pangaribuan.
Pasalnya, ia melihat bahwa di negara maju sudah ada pasar khusus thrifting ini seperti di Italia, Inggris, dan Belgia.
Pangaribuan menyebutkan keuntungan yang didapatnya juga cukup banyak selama masa pandemi ini karena fenomena thrifting sedang populer. Peningkatannya yakni 30-50 persen dari harga jual. Dia juga telah menyuplai ke banyak toko pakaian bekas di seluruh Indonesia.
"Peningkatanya signifikan, 30 persen sampai 50 persen. Yang beli hampir seluruh indonesia dan kirim ke Indonesia timur dan ke Aceh," paparnya.
Ia mengambil pakaian bekas tersebut dari beberapa negara seperti, Malaysia, Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Harga jual yang ditawarkan beragam mulai dari Rp 3.000.000 hingga Rp 6.000.000 per bal.
"Ada barang tebal, ada barang tipis tergantung kualitasnya ada grade A, B, C, kemeja atau dress itu paling mahal," kata Pangaribuan.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/06/07/18391941/fenomena-thrifting-napas-baru-pedagang-baju-bekas-di-pasar-senen