BEKASI, KOMPAS.com - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) berkomitmen mendampingi korban berinisial PU (15) dan mengawal kasus dugaan pemerkosaan remaja dengan tersangka anak anggota DPRD Bekasi, AT (21).
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Kota Bekasi Tanti Herawati menegaskan, pihaknya siap mengawal kasus tersebut hingga tuntas.
"Pertama dan paling utama PSI akan berada di garis depan melawan kekerasan seksual terutama terhadap perempuan dan anak, sikap PSI jelas akan berada di sisi korban, mengawal kasus ini hingga tuntas," ujar Hera kepada Kompas.com, Senin (7/6/2021).
"PSI akan terus mendampingi korban kekerasan seksual untuk mendapatkan Keadilan dan perlindungan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang. PSI akan menurunkan kader-kader terbaiknya untuk mengawal kasus kekerasan seksual," sambungnya.
Mengawal kasus dugaan pemerkosaan ini, menurut Hera, dilakukan PSI agar proses korban mendapatkan keadilan tidak bertele-tele.
"Saat ini kami tengah mengawal proses di kepolisian agar berjalan dengan baik dan adil," katanya.
"Dari awal kasus ini dilaporkan sudah terjadi kelambatan penyelesaian perkara. Kami tidak mau keadilan untuk korban berjalan bertele-tele atau malah dipetieskan," imbuhnya.
Hera mengatakan, pihaknya berharap seluruh komponen masyarakat termasuk partai politik bahu membahu menghapuskan kekerasan seksual.
"PSI mengajak seluruh komponen masyarakat, termasuk partai politik untuk bersama-sama menghapuskan kekerasan seksual pada perempuan dan anak demi tercapainya generasi emas Indonesia," tegasnya.
"Kami juga meminta kawan-kawan di DPR RI untuk segera mengesahkan RUU PKS karena Indonesia saat ini dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Apa yang dialami korban PU hanya puncak gunung es dari sekian banyak kasus kekerasan seksual di Indonesia," tambah Hera.
Dukung keluarga korban tolak tawaran pernikahan
Adapun keluarga tersangka melalui kuasa hukum, Bambang Sunaryo, sempat menyampaikan tawaran pernikahan kepada pihak PU.
"Saya berharap ini AT dan PU ini bisa kita nikahkan, kita urus ya walaupun proses hukum tetap berjalan. barangkali bisa untuk meringankan karena ini sudah terjadi," ujar Bambang, Minggu (23/5/2021), dilansir dari Tribun Jakarta.
Bambang menilai kasus yang sedang berjalan dengan sebutan "perzinahan".
Sehingga, menurutnya, pernikahan adalah jalan terbaik bagi kedua pihak.
Dia pun ingin membahas hal tersebut dengan keluarga korban.
"Saya berharap bisa ketemu orangtua korban, bisa ngobrol memang ini sudah terjadi, masih ada jalan terbaik," ujar Bambang.
"Saya berharap ini ya, kalau namanya urusan bahasa saya perzinahan apakah bisa kalau anak ini kita nikahkan, supaya tidak menanggung dosa, kalau memungkinkan kita nikahkan saja, kan gitu," lanjutnya.
Namun, keluarga PU melalui sang ayah, D, telah menolak tawaran tersebut.
"Saya menolak dengan tegas tawaran itu. Tidak ada kompromi," kata D, ayah korban, saat diwawancarai Kompas.com, Minggu (30/5/2021) malam.
"Wacana nikah adalah hal yang enggak masuk akal. Kedua, saya menolak dengan tegas apa pun tawaran seperti itu," sambungnya.
Sikap keluarga korban tersebut diapresiasi oleh Hera dan PSI secara khususnya. Menurutnya, pernikahan bukan solusi yang tepat.
"PSI mengapresiasi keluarga yang menolak tawaran menikah oleh tersangka. Ini adalah penyelesaian yang salah. Jika korban dinikahkan dengan pelaku, korban akan bagai diperkosa setiap hari oleh pelaku," papar Hera.
Terlebih, dijelaskan Hera, antara pelaku dan korban juga terindikasi adanya pelanggaran lain, yakni Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Dengan mengawal permasalahan ini, ia berharap kasus dugaan pemerkosaan tidak dipandang menjadi kasus perzinahan.
"PSI akan mengawal kasus ini agar tidak direduksi menjadi kasus perzinahan semata, apalagi sampai diselesaikan dengan menikahkan korban dengan pelaku," sambungnya.
Tak hanya pendampingan, Hera mengatakan pihaknya juga menawarkan bantuan hukum. Hal itu tengah dipertimbangkan keluarga korban.
"Kami menawarkan bantuan hukum jika disepakati keluarga. Keluarga sedang mempertimbangkan," ucapnya.
Pihaknya juga menawarkan rumah perlindungan bagi keluarga PU.
Sebab, berdasarkan pengakuan keluarga korban, mereka rutin mendapat intimidasi dan teror sejak kasus ini dilaporkan ke polisi.
"Kami juga menawarkan pengamanan juga safe house jika keluarga membutuhkan," ujar Hera.
"Ada yang menteror melalui telepon, pesan singkat, sampai rumah digedor setiap malam. Intinya mereka sekeluarga dibuat tidak nyaman dan tidak aman. Ini benar-benar keluarga korban dibuat syok, stres dan mungkin bisa dibilang trauma, ibarat udah jatuh tertimpa tangga pula," jelasnya.
Kronologi
AT saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka kasus kekerasan seksual sejak 6 Mei 2021 atau sekitar sebulan sejak keluarga PU melaporkannya ke Polres Metro Bekasi Kota pada awal April 2021.
Berdasarkan hasil gelar perkara, AT diduga memerkosa PU di yang masih duduk di bangku kelas IX SMP itu di kamar kos di daerah Kelurahan Sepanjang Jaya, Bekasi Timur.
Selain itu, berdasarkan pengakuan korban kepada Kepala Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi Novrian, PU juga disekap dan dijual oleh tersangka pada rentang Februari hingga Maret 2021.
AT diduga memaksa korban melayani pria hidung belang di kamar kos yang sama.
"Juga kita menemukan temuan baru. Hasil wawancara kita sama korban, ternyata si anak merupakan korban trafficking," ujar Novrian, Senin (19/4/2021).
"Selama beberapa lama, anak (PU) disekap di dalam kos-kosan dan dia dijual pelaku," sambungnya.
Terduga pelaku, Novrian membeberkan, menjual korban lewat aplikasi online MiChat, di mana akunnya dioperasikan sendiri oleh AT.
Oleh AT, PU dipaksa melayani 4-5 orang laki-laki hidung belang per harinya dengan bayaran sekitar Rp 400.000 per pelanggan.
Bayaran yang AT dapat itu tak sepeser pun diberikan kepada korban. Akibat diperkosa dan dijual, PU sempat terkena penyakit kelamin. Ia juga mengalami trauma.
Meski demikian, hingga saat ini, AT belum ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan TPPO.
Sebab, pihak kepolisian masih menyelidiki dugaan kasus TPPO itu.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/06/08/09352001/komitmen-psi-dampingi-korban-dan-kawal-kasus-pemerkosaan-remaja-oleh-anak