Mereka mendapatkan hak atas data kependudukan setelah bertahun-tahun berjuang. Penyerahan data kependudukan secara simbolis dilaksanakan, Jumat (3/9/2021).
Para warga didampingi Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) yang selama ini ikut memperjuangkan hak warga Kebun Sayur.
Lurah Ciracas, Rikia Marwan mengatakan, warga Kebun Sayur kini terdaftar sebagai warga RT 05 RW 06 di kelurahannya.
"Ada sekitar 5,3 hektar lahannya. Warga-warga itu ikut RT 05," kata Rikia, Minggu kemarin.
Kepala Sektor Kecamatan Ciracas dari Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Jakarta Timur, Irfan Sianturi menyebutkan, ada 100 warga Kebun Sayur yang mendapatkan data kependudukan untuk tahap pertama. Sementara total warga Kebun Sayur ada sekitar 2.000 jiwa. Itu artinya, proses pencetakan data kependudukan akan dilaksanakan secara bertahap.
"Ini data warga yang baru masuk. Kami akan proses sesuai data yang masuk," kata Irfan.
Konflik agraria
Warga Kebun Sayur mulai menggarap lahan seluas 5,3 hektar itu sejak 1980-an. Awalnya, sebagian besar dari mereka merupakan petani sayur yang menggarap lahan tersebut.
Namun, konflik lahan di Kebun Sayur berawal ketika Perum Perhubungan Djakarta (PPD) mengeklaim sebagai pemilik lahan pada 2009.
Klaim dibuat menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2003 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia dalam Perum PPD.
Warga mengalami ancaman penggusuran paksa oleh Perum PPD. Sebelum mengirimkan peringatan pada warga, PPD terlebih dahulu meminta PLN untuk memutus aliran listrik warga.
Tidak hanya itu, warga Kebun Sayur yang sebelumnya memiliki KTP sementara untuk domisili di Kebun Sayur, tidak dapat memperpanjang KTP karena dianggap tidak memiliki hak oleh pihak kelurahan.
Pengacara Publik LBH, Charlie Albajili mengatakan, PP yang digunakan sebagai klaim itu bertentangan dengan peraturan hukum yang lain.
"Karena menganggap tanah sebagai milik pemerintah, padahal belum ada hak atas tanah yang melekat di sana, sehingga pemerintah justru menggunakan prinsip hukum kolonial yaitu domein verklaring yang sudah tidak berlaku lagi," kata Charlie.
Pemerintah, lanjut dia, bahkan tidak melihat ada warga yang memiliki hak untuk mendaftarkan tanah lantaran telah menggarap lahan itu lebih dari 20 tahun dengan itikad baik.
Upaya penyelesaian sengketa dilakukan warga melalui mekanisme mediasi di Komnas HAM yang berlangsung hingga 2012.
Pada saat itu, telah ditemui beberapa kesepakatan, di antaranya menetapkan tanah status quo akibat tidak ada pihak yang memiliki sertifikat dan imbauan larangan penggusuran paksa.
Di tengah penyelesaian yang berlarut, pada 2017, PPD justru mengadakan kerjasama dengan PT Adhi Karya tentang penggunaan lahan Kebun Sayur untuk pembangunan apartemen LRT City. Apartemen LRT City merupakan bagian dari proyek Transit Oriented Development (TOD) untuk hunian di sekitar jalur LRT.
Selama proses penyelesaian konflik lahan itu, hak dasar warga Kebun Sayur tidak bisa terpenuhi.
LBH Jakarta menganggap terdapat malaadministrasi dan pelanggaran hak dasar warga Kebun Sayur yang tidak mendapatkan administrasi kependudukan.
Selain melanggar UU No. 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya, pelarangan tersebut juga bertentangan dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 171 Tahun 2016.
“Tidak diberikannya KTP di daerah asli tempat tinggalnya membuat warga tidak bisa mengakses banyak sekali layanan publik, terutama urusan kesehatan," ujar Charlie.
Warga Kebun Sayur sempat diminta mengosongkan lahan pada 2018. Wali Kota Jakarta Timur M Anwar membenarkan bahwa Perum PPD telah menyurati Pemerintah Provinsi DKI terkait permintaan bantuan pengosongan Kebun Sayur.
Namun, Anwar mengatakan, pihaknya tidak bisa begitu saja melakukan pengosongan seperti permintaan Perum PPD.
"Secara legalitas, mereka memang liar. Perum PPD koordinasi dengan kami memohon pengosongan, tetapi pesan Pak Gubernur, warga harus diwongke, dicarikan win-win solution," ujar Anwar di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat pada 15 Oktober 2018.
Perjuangan dan aspirasi warga
Salah seorang warga Kebun Sayur, Syafi mengatakan, warga masih bertahan lantaran Perum PPD tidak mampu menunjukkan bukti kepemilikan.
"Itu memang setahu saya dari dulu mau digusur Perum PPD, tetapi mereka juga enggak punya sertifikat tanah setahu saya. Kalau secara logika, mereka mau tanah ini, ya sudah ayo ke pengadilan saja nunjukkin bukti (sertifikat)," ujar Syafi pada 16 Oktober 2018.
Di sisi lain, Direktur Utama Perum PPD Pande Putu Yasa saat itu memastikan, pihaknya mengantongi sertifikat lahan di Kebun Sayur.
Perum PPD, lanjut dia, mengantongi sertifikat lahan seluas 5,3 hektar dan terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Iya, kami telah mengantongi sertifikat. Dokumen-dokumen kepemilikan lainnya menyangkut tanah," ujar Pande pada 17 Oktober 2018.
Selama proses sengketa, warga Kebon Sayur sering menyurati beberapa pihak untuk bisa membantu memperjuangkan hak warga terkait kepemilikan tanah.
"Kalau bilang menyurati, kami juga sudah menyurati DPR, Komnas HAM, LBH, pemerintah, tetapi ya begini-begini saja," kata Syafi.
Penyampaian aspirasi juga dilakukan warga Kebun Sayur di depan Istana Negara pada 25 Juni 2018. Saat itu, sekitar 200 warga Kebun Sayur melakukan unjuk rasa menuntut penyelesaian konflik agraria antara warga dengan Perum PPD.
Tak sampai di situ, warga Kebun Sayur juga mendatangi kantor Komnas HAM setahun berselang.
Sekitar seratus orang warga Kebun Sayur mendatangi kantor Komnas HAM dengan membawa spanduk dan poster-poster serta meneriakkan sejumlah tuntutan dan aspirasi pada 30 Septemer 2019. Enam tuntutan dilayangkan warga Kebun Sayur.
Kini, setelah bertahun-tahun berjuang, warga Kebun Sayur akhirnya mendapatkan hak mereka atas data kependudukan (mereka bisa memiliki KTP) walau sengketa terkait lahan tempat tinggal mereka belum tuntas.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/09/06/07525381/jalan-panjang-warga-kebun-sayur-ciracas-dapatkan-hak-atas-data