Kata Biden "apa yang terjadi di Indonesia jika perkiraannya benar bahwa, dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya (Jakarta) karena akan tenggelam."
Pernyataan Biden itu mendapat reaksi Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta. Anies mengatakan, pernyataan Biden tidak bisa diartikan berdiri sendiri sebagai kalimat yang hanya menyebut Jakarta sebagai tempat langganan banjir.
Menurut Anies, Biden sedang mencoba memperbaiki kebijakan yang diputuskan presiden sebelumnya, yaitu Donald Trump yang dinilai bersebrangan dengan kelestarian ekologi.
"Biden sedang mengajak Amerika untuk melakukan pertobatan paradigmatik. Karena kita tahu Amerika beberapa tahun sebelumnya bersebrangan sekali (dengan kebijakan ekologis)," ujar Anies pada 10 Agutus 2021.
Anies mengatakan, yang dikatakan Biden harus dimaknai secara luas bahwa bencana pemanasan global sudah masuk level serius. Kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada pelestarian lingkungan di masa Trump berdampak pada masa depan lingkungan hidup dunia.
Itulah sebabnya, kata Anies, pidato Biden bisa dimaknai sebagai pesan untuk mengajak semua mengurangi emisi karbon dan ambil bagian dalam mengurangi pemanasan global.
"Kalau kami boleh memaknai ini sebagai pesan yang sangat jelas dari Presiden Amerika bahwa sedang mencoba mengubah paradigma ekonomi. Dugaan kami bukan hanya untuk di luar, dia sedang bicara pada domestik audiensnya," ujar Anies.
Kondisi Jakarta saat ini
Jakarta saat ini tidak hanya berhadapan dengan ancaman yang dikatakan Biden, yaitu kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan global. Kenaikan permukaan laut di Jakarta tidak secepat penurunan permukaan muka tanah akibat penggunaan sumur.
Masalah penurunan muka tanah sebenarnya sudah digaungkan sejak diterbitkan Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 10 Tahun 1998. Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Yusmada Faizal mengatakan, Perda yang mengatur pajak pemanfaatan air tanah di Jakarta itu mampu memperlambat penurunan air tanah dari 20 sentimeter per tahun menjadi 5 sentimeter per tahun.
Yusmada mengatakan, pengurangan penurunan muka tanah di Jakarta tak lain disebabkan oleh berkurangnya penyedotan air tanah yang dilakukan untuk kegiatan komersial di Jakarta.
Namun kondisi permukaan tanah Jakarta saat ini sudah cukup mengkhawatirkan. Bahkan ada wilayah DKI Jakarta yang kini sudah berada 1 meter di bawah permukaan air.
"Ini di Muara Baru tahun 2020 itu sudah minus 1 (meter) di bawah permukaan laut," kata dia pada 2 September 2021.
Muara Baru diprediksi sepenuhnya menjadi laut lepas dengan kedalaman 4,6 meter di tahun 2050 jika tidak ada intervensi apapun dari pemerintah.
Tidak hanya di Muara Baru, tujuh wilayah di pesisir Jakarta juga terancam tenggelam di tahun 2050 yaitu Kamal Muara di bawah 3 meter, Tanjungan 2,10 meter, Pluit 4,35 meter, Gunung Sahari 2,90 meter, Ancol 1,70 meter, Marunda 1,30 meter, dan Cilincing 1 meter.
Megaproyek menahan laju penurunan air tanah
Untuk masalah pertama yaitu kenaikan permukaan air laut hanya ada satu cara, yaitu membangun tanggul yang kokoh di pesisir Jakarta. Sistem polder atau membuang air kembali ke laut lepas menjadi pilihan agar genangan tidak terjadi di kawasan permukiman yang kini berada di bawah permukaan laut.
Selain itu, upaya non-struktural seperti sistem peringatan dini dipasang di kawasan yang lebih rendah dari permukaan laut dan masih dihuni.
Sedangkan masalah kedua yaitu penurunan air tanah Jakarta melibatkan pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Proyek jaringan sistem penyediaan air minum (SPAM) dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di dua tempat di luar wilayah Jakarta.
Penampungan air raksasa untuk menjadi sumber air baku belasan juta warga Jakarta disiapkan. Proyek bendungan Jatiluhur 1 dan Karian Serpong diharapkan bisa segera beroperasi untuk membantu suplai air baku ke Jakarta.
"Kami harapkan dua SPAM bakal mulai beroperasional atau commercial operation date pada tahun 2024," kata Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR Diana Kusumastuti, 4 Oktober ini.
Setelah beroperasi, jaringan perpipaan untuk suplai air baku di Jakarta disiapkan agar penggunaan air tanah tak lagi jadi pilihan masyarakat Jakarta.
Saat ini, kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Riza Patria, baru 63 persen warga Jakarta yang bisa mengakses kebutuhan air baku dari sistem perpipaan. Artinya ada 37 persen warga Jakarta atau sekitar 3,9 juta (Data Badan Pusat Statistik 2020) yang masih menyedot air tanah setiap hari untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, masak, dan mencuci.
Apabila seluruh jaringan perpipaan mampu menjangkau warga Jakarta, Riza berharap tidak ada lagi penyedotan air tanah yang terjadi dan penurunan muka tanah Jakarta bisa dihindari.
"Harapan kami nanti dalam beberapa tahun ke depan tidak ada lagi masyarakat yang menggunakan air tanah," kata dia.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/10/12/07213471/hadapi-ancaman-nyata-jakarta-tenggelam-apa-kata-anies