Salin Artikel

Puluhan Tahun Kebanjiran, Warga Rawajati Menanti Pembebasan Lahan untuk Normalisasi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kumpulan kertas tertumpuk di sebuah kamar kecil depan rumah berlantai dua warna hijau milik Sari Budi Handayani di Rawajati, Pancoran Jakarta Selatan.

Sari merupakan Ketua RW 07 Rawajati, sekaligus orang yang dipercaya warga untuk menyelesaikan persoalan rencana pembebasan lahan untuk program normalisasi Kali Ciliwung.

Kertas yang tertumpuk merupakan berkas-berkas dalam proses pembebasan lahan. Ada 63 bidang rumah yang tercatat untuk pembebasan dalam proyek normalisasi.

Sari bersama warganya antusias. Mereka yang tergabung dalam forum normalisasi melengkapi satu di antara persyaratan lain agar pembayaran untuk pembebasan lahan segera berjalan.

"Mudah-mudahan tahun ini (pembebasan lahan). Kami mendorong dan berharap akhir tahun ini sudah pembayaran. Karena khawatir penghujung tahun yang banjir," kata Sari saat berbincang Rabu (10/11/2021).

Sari yang menjadi perwakilan warga sudah beberapa bertemu dengan lurah, camat, dan Dinas sumber Daya Air Pemerintah Provinsi DKI untuk membahas proyek normalisasi itu.

Sari dan warga dijanjikan pembebasan lahan itu dibayarkan di atas nilai jual objek pajak (NJOP) dan akan ada appraisal.

"Warga mau (pindah) asal itu pembayaran di atas NJOP dan tanpa makelar. Makanya kami buat forum normalisasi ini. Dan seharusnya ini tahap pembebasan sudah masuk dalam peta bidang," kata Sari.

Selain soal pembayaran pembebasan lahan yang di atas NJOP, warga mau adanya pembebasan lahan karena sudah jengah dengan banjir.

Meski tak sedikit satu di antaranya warga berat meninggalkan kawasan itu karena alasan sejarah dan kenangan yang dinilai paling mahal.

Padahal banjir yang dialami warga Rawajati sudah semakin sering. Apabila dahulu banjir dahulu disebut-sebut siklus lima tahunan, kini sudah bisa terjadi setiap tahun.

"Banjir dahsyat itu tahun 1997 kita kaget juga, tadinya barang di atas lantai dua aman, akhirnya yasudah hancur. Sejak 2004 itu banjir terjadi setiap tahun," kata Sari.

Banjir yang kerap terjadi membuat perabotan rumah sari dan warga lain rusak. Bahkan tidak sedikit rumah-rumah hancur terkikis air.

"Itu kontrakan, karena mungkin rusak, pemilik tak ada uang buat renovasi akhirnya ya ditinggal dengan kondisi seperti itu," kata Sari.

Siti Aminah (54), yang juga warga Rawajati, mengaku sudah merasakan hidup di tengah bayang-bayang banjir sejak tahun 1981.

"Saya pernah mengalami banjir setinggi lebih dari lima meter, sampai atap itu tahun 2007 dan sekarang banjir sudah tidak lima tahunan, bahkan hampir setiap tahun," kata Siti.

Kini, Siti dan keluarga sudah selalu siap siaga. Mereka sudah mengantisipasi diri apabila terjadi banjir.

Tolak ukur kesiapan diri jika adanya informasi melalui pesan singkat dari ketua RT dan RT mengenai kondisi pintu air di hulu.

"Dapat informasi dari kelurahan. Kelurahan dari BPBD mengenai air sudah siaga berapa nih?. Dan kira-kira sampai sini jam berapa dan tingginya semana itu kita sudah bisa perkirakan karena sudah sering," kata Siti seiring tersenyum.

Sempat pindah dari kawasan Rawajati 1988 karena mengikut sang suami, namun Siti kembali. Kala itu suami telah meninggal dunia.

Siti tak ingin meninggalkan kawasan rumah yang telah bersahabat dengan air meski ada tempat tinggal lain. Alasan karena anak Siti banyak yang telah bekerja tak jauh dari rumah saat ini.

"Dan rencana normalisasi itu sih mau. Iya asal pembayaran rumah di atas NJOP. Kemudian katanya ada uang pembangunan dan lainnya. Tapi untuk lebih dalam soal normalisasi saya tidak bisa ngomong banyak karena sudah terpusat ke RW ada forum normalisasi," kata

Alasan Siti yang setuju adanya program normalisasi karena dirinya merasakan banjir yang semakin sering terjadi membuat kehidupan kurang tidak sehat.

Dia pun berharap agar persoalan banjir dengan normalisasi dapat teratasi.

https://megapolitan.kompas.com/read/2021/11/11/08121751/puluhan-tahun-kebanjiran-warga-rawajati-menanti-pembebasan-lahan-untuk

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke