"Tidak ada yang lebih dari 8 jam, sesuai SOP (standar operasional prosedur), tidak ada," kata Direktur Utama PT Transjakarta Yana Aditya di Cawang, Jakarta Timur, Rabu (8/12/2021).
Yana mengatakan, pihaknya saat ini sedang mengevaluasi pedoman keselamatan sopir bus Transjakarta terkait kasus kecelakaan yang sering terjadi.
Data PT Transjakarta dalam rapat dengan Komisi B DPRD DKI Jakarta, Senin lalu, menyebut ada 502 kecelakaan yang melibatkan bus mereka dalam kurun Januari-Oktober 2021.
Selain itu, PT Transjakarta juga akan mengikuti rekomendasi perbaikan dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) terkait keselamatan kerja.
"Kami semua dari keluarga besar Transjakarta dan operator sepakat akan menjalankan semua pedoman keselamatan yang nanti akan kami jadikan sebagai acuan baru," ujar Yana.
Sebelumnya, anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Gilbert Simanjuntak mengaku banyak menerima keluhan dari sopir bus Transjakarta yang bekerja melebihi batas waktu (overtime).
Operator bus pun acapkali memindahkan sopir untuk bekerja dari satu trayek ke trayek lainnya agar tak dihitung overtime.
"Sopir itu mengeluh shift mereka terlalu panjang. Sudah terlalu panjang, kadang mereka dipindah dari satu trayek ke trayek lain biar enggak ketahuan overtime," ucap Gilbert dalam keterangan tertulis, dikutip Tribun Jakarta, Selasa (7/12/2021).
Politisi PDI-P itu menyebutkan, pihak operator kerap mengancam akan memberikan sanksi kepada sopir jika melaporkan kecurangan tersebut.
"Saya tanya kenapa enggak protes saja? Mereka jawab akan dipotong gaji dan enggak diperpanjang kontrak," ujar Gilbert.
Terkait hal ini, Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan, idealnya setiap sopir bekerja maksimal delapan jam.
Setiap empat jam, sopir seharusnya istirahat dulu sebelum kembali bekerja mengangkut penumpang.
"Saat pelayanan di koridor pada perhentian terakhir, contohnya rute Blok M-Kota, dia bisa istirahat sejenak sambil menggerakkan badan," kata Syafrin.
Serikat Pekerja Transportasi Jakarta (SPTJ) sebelumnya mengaku prihatin atas rentetan kecelakaan yang terjadi pada bus transjakarta.
Ketua SPTJ Jan Oratmangun menilai, PT Transjakarta lebih berorientasi pada profit daripada pemberdayaan sumber daya manusia.
Sebagai bagian dari Transjakarta, Jan berharap perusahaan segera mengevaluasi sistem yang saat ini berjalan.
“Serikat pekerja menilai kualitas layanan menurun. Ini adalah dampak dari diberlakukannya berbagai kebijakan yang lebih mengutamakan profit-oriented dibandingkan pemberdayaan sumber daya manusianya,” kata Jan dalam keterangan tertulis saat dikonfirmasi Kompas.com, Selasa (7/12/2021).
"Dari kebijakan profit-oriented ini terjadi lah sub kebijakan efisiensi anggaran di tingkat lapangan. Kebijakan efisiensi ini menurut kami adalah kebijakan salah kaprah," lanjutnya.
Jan memberi contoh, efisiensi ini terlihat dari ketiadaan petugas di dalam bus, yang dulu berperan mengasistensi pengemudi demi keamanan dan kenyamanan penumpang.
Ia menilai, kebijakan-kebijakan salah kaprah sebagai hasil dari efisiensi ini membuat fungsi kontrol Transjakarta sebagai regulator tidak berjalan baik.
"Fungsi kontrol operasional yang tadinya dilakukan oleh petugas pengendalian di setiap koridor/rute dengan skema tiga orang petugas pengendali, saat ini dikerucutkan hingga hanya satu orang di setiap koridor," kata Jan.
"Sehingga pengawasan terhadap perilaku mengemudi Pramudi di koridor untuk menerapakan standar pelayanan minimum menjadi lemah," lanjutnya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/12/09/05274561/dirut-pt-transjakarta-tidak-ada-sopir-kerja-lebih-dari-8-jam-per-hari