JAKARTA, KOMPAS.com - Polda Metro Jaya menyebut bahwa permintaan penundaan eksekusi rumah di Serpong yang dilakukan oleh Kapolres Tangerang Selatan (Tangsel) AKBP Sarly Sollu telah sesuai dengan putusan pengadilan.
Hal itu disampaikan Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan saat menanggapi pelaporan Kapolres Tangsel ke Propam Mabes Polri.
Laporan dibuat oleh seorang pengacara yang merasa bahwa Kapolres Tangsel telah menghalang-halangi proses eksekusi rumah yang sudah diputus Pengadilan Negeri Tangerang.
"Perlu saya jelaskan bahwa pihak Polres Tangerang Selatan ini hanya mendasari adanya permohonan, tentunya bantuan proses pelaksanaan eksekusi dari Pengadilan Negeri Tangerang," ujar Zulpan kepada wartawan, Kamis (31/3/2022).
Menurut Zulpan, kepolisian mendapat permohonan bantuan dari pengadilan untuk mengamankan jalannya proses eksekusi rumah.
Dalam pelaksanaannya, kata Zulpan, pengadilan meminta agar eksekusi rumah di kawasan Serpong itu ditunda karena penghuni rumah tersebut diketahui tengah menjalani isolasi mandiri (isoman) karena terpapar Covid-19.
"Keputusan penundaan eksekusi pada saat itu bukan keputusan Kapolres. Itu adalah keputusan dari panitera pelaksana eksekusi dari PN Tangerang. Pihak polres hanya melaksanakan saja," ungkap Zulpan.
"Pada saat eksekusi itu di dalam rumah memang ada penghuni yang sedang melaksanakan isoman terkait Covid-19," sambungnya.
Kepolisian, kata Zulpan, menjalankan perintah pengadilan untuk menunda eksekusi.
"Pihak polres hanya melaksanakan pengamanan saja dan juga menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, yakni adanya penolakan warga dan sebagainya apabila faktor kemanusiaan itu dikesampingkan," tutur Zulpan.
Sebelumnya, sebuah video yang memperlihatkan persitegangan antara seorang pengacara dengan Kapolres Tangsel AKBP Sarly Sollu beredar luas di media sosial.
Persitegangan itu pun berbuntut panjang, hingga pengacara melaporkan Kapolres Tangsel ke Divisi Propam Mabes Polri atas dugaan pelanggaran kode etik pada Jumat (18/3/2022).
AKBP Sarly Sollu diduga telah melanggar Hukum Acara Perdata dan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Kepolisian Republik Indonesia.
Kuasa hukum pemilik rumah Swardi Aritonang SH, MH dan Granaldo Yohanes Tindangen SH, MH menilai Kapolres telah menghalangi proses eksekusi sehingga menghentikan proses eksekusi perdata yang sedang berlangsung.
Adapun proses eksekusi yang diamanatkan Pengadilan Negeri Tangerang itu sedianya dilaksanakan pada 9 Maret 2022 lalu.
"Hingga berakibat klien kami saat ini, Fahra Rizwari, belum dapat obyek tersebut sekalipun telah dilaksanakan eksekusi. Percuma saja semua proses hukum eksekusi ini kalau rumah kami yang telah dibeli dari Kantor lelang Negara ini belum bisa dikuasai," ujar Swardi, Senin (28/3/2022).
Swardi sangat menyayangkan peristiwa penghalang-halangan oleh polisi karena proses hukum yang dilalui kliennya sudah panjang hingga memakan waktu satu setengah tahun.
"Kami sangat menyayangkan tindakan Kapolres menghentikan proses eksekusi sehingga membuat proses penyerahan rumah obyek eksekusi tertunda hingga saat ini dan belum tau pastinya kapan," lanjutnya.
Swardi menuturkan, Kapolres meminta agar eksekusi ditunda selama sepekan. Alasannya, karena termohon sedang dalam masa isolasi mandiri (isoman).
Padahal, pengacara tidak menerima bukti hasil tes Covid-19 dari termohon, dan ketika termohon diminta untuk melaksanakan tes Covid-19 sebagai bukti, termohon pun menolak.
"Saat ini Pengadilan Negeri Tangerang telah menyatakan eksekusi selesai karena secara hukum penetapan eksekusi telah dibacakan. Namun, secara faktanya sampai saat ini surat pengaduan ini kami ajukan, obyek eksekusi secara riil belum diterima oleh klien kami," ungkapnya.
Menurut Swardi, kapolres tidak berwenang untuk menunda proses eksekusi karena itu merupakan domain hakim. Alasan pertimbangan kemanusiaan dan hati nurani yang disebut Kapolres dinilai tidak tepat.
"Seharusnya yang dilakukan Kapolres adalah upaya pengamanan dan penegakan hukum, sehingga proses eksekusi berjalan dengan baik," pungkasnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal tersebut berbunyi “memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat.”
Satu-satunya Lembaga Negara yang dapat melakukan eksekusi suatu putusan perdata yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) adalah pengadilan negeri terkait, sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 195 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) Stbl 1941 No. 44 HIR.
Aksi Kapolres juga diduga bertentangan dengan pasal 7 huruf c Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Kepolisian Republik Indonesia.
"Dengan demikian apakah tindakan penghentian ini bertentangan dengan hukum? Kami telah mengadukan dugaan Pelanggaran Kode etik ke Divisi propam Mabes Polri sebagai pihak yang berwewenang menyelidiki, memeriksa, dan memutuskan suatu dugaan Pelanggaran Kode etik di Kepolisian," tutur Swardi.
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/03/31/13335891/kapolres-tangsel-diduga-halangi-eksekusi-rumah-polda-metro-sebut-sesuai