KOMPAS.com - “Kartini itu luar biasa. Mendirikan sekolah dengan tenaga sendiri. Dia satu-satunya perempuan dengan pendidikan barat, waktu itu,” kata sastrawan Pramoedya Ananta Toer, dalam wawancara yang diterbitkan majalah Playboy Indonesia edisi April 2006.
Kekaguman terhadap sosok RA Kartini (21 April 1879 - 17 September 1904), ditorehkan Pramoedya melalui buku Panggil Aku Kartini Saja.
Judulnya mengutip dari kata-kata perpisahan kartini kepada salah sahabat penanya, Stella Zeehandelaar, dalam surat bertanggal 25 Mei 1899.
Karya ini disebut sebagai salah satu literatur sejarah pergerakan perempuan Indonesia. Peneliti Savitri Scherer mengatakan, Pramoedya telah meneliti tokoh perempuan asal Jepara itu, antara 1956 sampai 1961.
Menurut Savitri, dalam Pramoedya Ananta Toer: Luruh Dalam Ideologi (Komunitas Bambu, 2012), Pramoedya memiliki pandangan bahwa ide-ide progresif Kartini disebabkan oleh respons atas hierarki dan adat diskriminatif lingkungan feodalnya.
Pemikiran Kartini yang progresif, menurut Pramoedya, bukan disebabkan pertukaran ide dengan teman-temannya di Eropa. Pramoedya menguraikan fakta sifat feodal pengaturan rumah tangga bupati.
Ayah Kartini merupakan Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Ibunya M. A. Ngasirah, keturunan seorang guru agama di Teluwakur, Jepara.
Istri yang bukan berasal kaum bangsawan memiliki tempat sendiri di luar bangunan rumah utama.
Situasi seperti ini, menurut Savitri, telah menimbulkan ketidaksenangan dan membangkitkan pemikiran progresif Kartini tentang dunia yang ideal, di mana semua orang setara.
Meneruskan semangat Kartini
Dikutip dari artikel Kartini dan Feminisme di Indonesia (Kompas, 20 April 2021), Kartini telah mencetuskan perubahan besar bagi kebangkitan perempuan Indonesia.
Kartini menjadikan pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai hal yang diperjuangkan dalam menuntut adanya kesetaraan.
Upaya itu tampak dari pembentukan sekolah bagi anak perempuan, seperti yang dikatakan oleh Pramoedya.
Bagi Kartini, pendidikan mutlak diperlukan untuk mengangkat derajat perempuan Indonesia. Pengajaran terhadap perempuan juga secara tidak langsung akan meningkatkan martabat bangsa.
Atas perjuangannya itu, Presiden Soekarno menerbitkan Ketetapan Presiden RI Nomor 108 Tahun 1964 tertanggal 2 Mei 1964. Soekarno menetapkan RA Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Sebagai upaya menjaga gagasan dan cita-cita perjuangan Kartini, Kompas.com menyuguhkan liputan khusus mengenai para “Kartini masa kini”.
Kami mengangkat kisah Marsya Nurmaranti, Direktur Eksekutif Indorelawan yang memiliki perhatian terhadap isu sosial dan lingkungan.
Kemudian sosok Amanda Tan, project officer di platform LaporCovid-19 dan aktif sebagai tim advokasi laporan warga terkait isu pandemi.
Ada pula cerita soal kegigihan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kecamatan Tanjung Priok, Evita Wahyu Pancawati, dalam menunjukkan bahwa perempuan mampu menjadi pemimpin.
Peran mereka selama ini di bidang masing-masing seakan menjadi jejak perjuangan Kartini pada masa kini.
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/04/21/05000071/meneruskan-semangat-kartini-