JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur DKI Jakarta mengganti 22 nama jalan di Jakarta dengan nama tokoh betawi.
Perubahan nama jalan tersebut mengacu pada Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 565 Tahun 2022.
Anies mengungkapkan, perubahan nama jalan ini dilakukan guna menghormati para tokoh betawi yang telah banyak berjasa bagi Jakarta maupun Indonesia.
"Dari Betawi dilahirkan begitu banyak pribadi-pribadi yang hidupnya memberikan kemajuan," ujar Anies pada Senin (20/6/2022).
Perubahan nama jalan itu pun lantas menuai pro kontra di masyarakat.
Banyak masyarakat yang keberatan karena merasa repot harus mengubah data kependudukan.
Ada juga warga yang menilai tokoh betawi yang dipilih untuk nama jalan itu tidak mewakili masyarakat setempat.
Namun, perubahan nama jalan di Jakarta rupanya tidak hanya terjadi di era Anies Baswedan.
Melansir kompas.id, nama jalan di Ibu Kota terus berubah dari masa ke masa, bahkan perubahan sudah dimulai sesaat setelah Indonesia mencapai kemerdekaan.
Tujuannya mulai dari untuk mewujudkan keindonesiaan hingga alasan politis.
Candrian Attahiyat, arkeolog sekaligus Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta, menuturkan, perubahan nama jalan tidak lepas dari kemauan pemimpin yang tengah memimpin suatu daerah atau bahkan negara.
Untuk Jakarta, setiap pemimpin mempunyai catatan dalam mengubah atau mengganti nama jalan.
”Perubahan besar-besaran ketimbang masa kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan terjadi pada masa Gubernur Militer Jakarta Daan Jahja, pada awal 1948 hingga 1950,” tutur Candrian.
Daan, saat menjabat gubernur, menghadapi banyak persoalan dalam masyarakat Jakarta.
Salah satunya berbagai masalah administrasi dalam proses pengembalian pemerintahan Jakarta kepada pola keindonesiaannya.
Candrian menyebutkan, Daan mengganti lebih dari 130 nama jalan menggunakan bahasa Indonesia.
Penggantian itu efektif mulai 1 Maret 1950 yang berbarengan dengan perubahan akta, nomenklatur, alamat resmi, dan lainnya.
”Saya tak tahu ada momentum apa pada 1 Maret itu. Dari 130 jalan itu, penggantiannya, antara lain Waltevreden menjadi Gambir, Meester Cornelis menjadi Jatinegara, Batavia menjadi Jakarta Kota," katanya.
Lebih jauh, pergantian nama jalan atau tempat sudah berlangsung sejak pendudukan Jepang untuk tujuan politis, yakni merangkul seluruh Indonesia.
Namun, pergantian tersebut tak berbarengan dengan perubahan nomenklatur dan lainnya.
Candrian mencontohkan Jalan Noordwijk yang sekarang menjadi Jalan Juanda di Jakarta Pusat.
Pada masa Jepang, sempat bernama Jalan Nusantara. Perubahan menjadi Jalan Juanda terjadi pada 1963 setelah Juanda ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
”Keputusan pergantian nama setelah tahun 1950 cenderung politis. Contohnya, Jalan Sultan Agung di Jakarta Selatan, sebelumnya Jalan Jan Pieterzoon Coen. Pergantian karena Sultan Agung yang melawan VOC,” katanya.
VOC merupakan perusahaan multinasional pertama di dunia yang menguasai dua pertiga lingkaran bumi dari Eropa, Afrika Barat, Afrika Selatan, India, Sri Lanka, Nusantara, Taiwan, dan Dejima di Nagasaki.
Contoh lain pergantian nama jalan karena politis terjadi tahun 1960-an.
Candrian mengatakan, Presiden Soekarno mengganti nama Jalan Angkasa di Jakarta Pusat menjadi Jalan Patrice Lumumba, pejuang kemerdekaan Kongo di Afrika.
Nama terakhir berganti lagi ke nama semula saat pemerintahan Presiden Soeharto.
Pergantian nama jalan dengan tokoh lokal mulai muncul tahun 1990-an.
Menurut Candrian, gubernur ingin merangkul warga dengan pemakaian nama tokoh lokal, terutama dari Betawi.
Misalnya, landasan pacu Bandara Kemayoran menjadi Jalan Benyamin Suaeb di Jakarta Pusat. Kemudian Jalan Haji Naim di Jakarta Selatan sebagai salah satu tuan tanah.
”Banyak nama tokoh lokal, khususnya Betawi sebagai nama jalan. Penamaan bukan oleh pemerintah saja, masyarakat juga karena keseringan menyebut nama tokoh lokal setempat, seperti Haji Naim,” ucapnya.
Candrian menjelaskan, penamaan jalan tidak ada yang abadi karena seiring dengan perkembangan zaman. Nama jalan bisa berganti lebih dari satu kali sehingga lama kelamaan warga akan terbiasa.
Candrian pun meyakini perubahan nama jalan yang kini dilakukan Gubernur Anies perlahan bakal diterima oleh masyarakat.
Untuk itu, jika memungkinkan, pada plang nama jalan disertakan nama jalan sebelumnya sebagai jejak sejarah.
Misalnya, orang pergi ke Sawah Besar di Jakarta Pusat bisa tahu kalau Jalan Sawah Besar diganti namanya menjadi Jalan Suryopranoto.
”Hal itu di satu sisi menjadi pembelajaran untuk tahu tokoh atau pahlawan. Di sisi lainnya, tidak melupakan sejarah atau nama sebelumnya,” katanya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul "Jejak Penamaan Jalan yang Berkelindan dengan Kekuasaan"
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/07/01/11403341/perubahan-nama-jalan-di-jakarta-tak-hanya-di-era-anies-ini-catatannya