JAKARTA, KOMPAS.com - Seorang perempuan berinisial AF diduga mengalami pelecehan seksual oleh penumpang pria saat naik angkot M44 dari kawasan Tebet ke arah Kuningan, Jakarta Selatan.
Kisah tersebut terekam dalam sebuah video dari ponsel milik AF yang kemudian menjadi viral di media sosial. Dalam video terlihat sosok terduga pelaku mengenakan jaket dan membawa ransel yang diletakkan di bagian depan menutupi tubuhnya.
Berdasarkan keterangan video yang diunggah di akun itu, korban mengaku diraba di bagian dada oleh pelaku yang duduk di sebelahnya. Aksi itu ditutupi oleh tas yang dipangku pelaku. Korban menyadarinya dan langsung menepis tangan terduga pelaku.
Korban lalu pindah tempat duduk dan merekam sosok terduga pelaku sambil menangis. Kemudian, korban melapor ke Polres Metro Jakarta Selatan.
Dishub mendadak akan pisahkan tempat duduk penumpang di angkot
Tak lama video itu viral, Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta mendadak bakal mewajibkan semua angkot yang ada di Jakarta untuk memisahkan tempat duduk antara laki-laki dan perempuan.
Dishub juga mengancam mencabut izin trayek angkot yang tak memisahkan penumpang laki-laki dan perempuan guna mencegah terjadinya pelecehan seksual. Hal itu merupakan sanksi terberat dari penerapan aturan terbaru tersebut.
"Ada regulasi yang mengatur bisa saja jika memang ternyata yang bersangkutan terus melakukan pelanggaran yang sama, ini bisa kita cabut izin trayeknya," ujar Kepala Dishub DKI Jakarta Syafrin.
Sementara itu, pada angkot mikrotrans, berlaku sanksi teguran hingga pemotongan gaji. Lalu, apabila terdapat sopir yang membiarkan tindak pelecehan seksual, hal ini diserahkan kepada kepolisian.
"Jadi tentu kami serahkan ke rekan kepolisian untuk melakukan penanganan terhadap tindakan itu," ujar dia.
Syafrin menjelaskan, penumpang perempuan duduk di posisi bangku dengan kapasitas empat penumpang, sedangkan penumpang laki-laki duduk di seberangnya dengan kapasitas penumpang enam orang.
Selain itu, lanjut dia, semua angkutan umum yang perizinannya dikeluarkan oleh Dishub sudah tidak menggunakan kaca film.
Angkot juga dipasangi kamera pengawas atau CCTV dalam memenuhi standar pelayanan minimal sesuai peraturan gubernur (pergub) untuk mencegah tindak pelecehan seksual.
"Harapannya melalui pemisahan ini, kejadian serupa tidak terulang," ujar dia.
Edukasi sopir angkot justru dinilai lebih krusial
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta menilai wacana pemisahan tempat duduk antara laki-laki dan perempuan bukanlah solusi pencegahan pelecehan seksual di dalam angkutan umum.
Direktur LBH APIK Jakarta Siti Mazumah mengatakan keputusan itu tidak akan menyelesaikan akar persoalan, tetapi justru hanya akan menimbulkan persoalan baru.
Menurut Siti, ada banyak hal sebetulnya yang menyebabkan ada laki-laki dan perempuan itu harus duduk bersamaan di dalam angkutan umum, misalnya ada relasi ibu-anak, suami-istri, atau pun ayah-anak dengan berbagai alasan.
"Dengan membuat kebijakan ini tidak akan menyelesaikan persoalan, lebih baik melibatkan peran sopir angkot untuk mencegah pelecehan ini," ujar Siti kepada Kompas.com, Selasa (12/7/2022).
Siti berujar salah satu hal yang krusial dilakukan dalam pencegahan pelecehan seksual di tempat umum adalah memberikan edukasi terhadap sopir angkutan kota atau angkot.
Edukasi ini menjadi penting agar sopir angkot memahami apa tindakan yang harus ia lakukan saat berada dalam situasi yang mengancam penumpangnya, khususnya ancaman pelecehan seksual.
"Sopir angkot bisa diberikan pemahaman, ketika mengetahui pelecehan bisa melakukan apa atau bagaimana," ujar Siti.
Gerbong khusus wanita di KRL bisa jadi referensi
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Haris Muhammadun menilai wacana pemisahan tempat duduk antara laki-laki dan perempuan bukanlah solusi yang tepat untuk pencegahan pelecehan seksual di dalam angkutan umum.
Haris menyarankan sebaiknya aturan tersebut bukan wajib memisahkan antara penumpang secara harfiah di dalam angkot.
"Namun, wajib menyediakan ruang khusus untuk penumpang perempuan yang lebih rentan sebagai korban kemungkinan pelecehan di angkutan umum," ujar Haris kepada Kompas.com, Selasa (12/7/2022).
Dengan demikian, kata Haris, penumpang perempuan dapat memilih apakah dia harus berada di ruang khusus wanita tersebut atau bisa memilih juga ke ruang yang diperuntukkan bagi penumpang umum.
Ia menilai kebijakan tersebut paling tidak menekan kejadian pelecehan seksual yang ada di angkutan Umum. Ia mencontohkan kejadian tersebut sudah ada dalam layanan kereta rel listrik (KRL) commuter line yang menyediakan gerbong khusus wanita.
Sejauh ini, Haris berujar belum ada referensi yang mengatur pemisahan formasi duduk antara penumpang wanita atau laki-laki dari negara mana pun.
Bahkan, Haris menyebutkan negara-negara yang menerapkan prinsip syariat sekalipun tidak menerapkan aturan tersebut, baik itu Turki atau negara timur tengah lainnya.
"Tetapi kalau penyediaan ruang khusus untuk wanita, penumpang lansia, dan difabel itu sudah banyak diterapkan, termasuk di Indonesia," ujar Haris.
Pemisahan tempat duduk dinilai tak efektif cegah pelecehan seksual
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Eneng Malianasari mengatakan, kebijakan itu hanya menjadi solusi jangka pendek.
"Kebijakan tersebut tidak efektif, hanya sebagai solusi jangka pendek dan tidak berkepanjangan," kata Eneng.
"Belum lagi Dinas Perhubungan tidak memikirkan ruang angkot yang sempit untuk membagi hal tersebut, berbeda dengan Transjakarta atau commuter line yang memiliki ruang luas," ujar dia.
Eneng mengatakan, persoalan kebijakan itu tidak hanya pada implementasi, tetapi juga terkait pengawasan.
Menurut dia, seharusnya pemerintah bersama pemangku kepentingan seperti Komnas HAM, Komnas Anak, dan Komnas Perempuan duduk bersama untuk membahas strategi jangka panjang.
"Agar tidak lagi terjadi pelecehan di transportasi umum, terutama angkot," ungkapnya.
Eneng menuturkan, pemerintah juga perlu merumuskan sistem untuk menciptakan rasa aman dan kenyamanan warga saat berada dalam transportasi umum.
"Aparat penegak hukum juga diminta untuk memberi hukuman seberat-beratnya pada pelaku pelecehan atau kekerasan seksual sesuai dengan undang-undang yang berlaku," ucap dia.
Evaluasi setelah penerapan
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, upaya menekan kasus pelecehan seksual di angkutan kota (angkot) merupakan persoalan yang tidak mudah.
Namun, Riza memastikan pemerintah provinsi (pemprov) berupaya untuk mengatasi masalah itu. Hal ini ia sampaikan dalam menanggapi kritik soal keefektifan pemisahan tempat duduk penumpang laki-laki dan perempuan untuk mencegah kasus pelecehan seksual.
"Apakah ini efektif atau tidak. Paling tidak ini satu upaya yang sedang kami coba. Memang jumlah kursi di mikrolet itu kan terbatas ya, di angkot itu terbatas. Sementara kita pisahkan," kata Riza di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (12/7/2022).
Riza mengatakan, pemprov akan melakukan evaluasi setelah kebijakan tersebut diterapkan. Dia berharap, cara tersebut bisa menekan angka kasus pelecehan seksual.
"Setidaknya kami perhatian terhadap kasus ini agar tidak terulang kembali. Tapi jauh lebih penting adalah kerja sama dari semua penumpang yang ada, untuk bersama-sama menjaga kesantunan," tutur dia
(Penulis: Sania Mashabi, Larissa Huda | Editor: Kristian Erdianto)
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/07/12/21235171/aturan-pemisahan-tempat-duduk-di-angkot-berawal-dari-video-viral