Sekelompok orang begitu dingin ketika memutilasi korban. Segerombolan suporter ringan tangan mengayunkan senjata tajam kepada pendukung lawan.
Dan... dorr, anak buah ditembak secara beramai-ramai.
Begitulah negeri kita. Pembunuhan ibarat serial televisi. Ada bumbunya pula: perselingkuhan, pelecehan seksual, hingga dendam percintaan.
Masyarakat terbawa alur cerita. Terkadang ditambahi dengan spekulasi liar ala skenarionya.
Mau tak mau menggiring saya ke sudut sunyi. Merenung. Ada apa negeri ini? Begitu mudah pertumpahan darah dipakai menyelesaikan masalah.
Dari sudut sunyi menyeruak pemikiran, tampaknya relasi antar-manusia makin dingin saja. Kita pun ada kalanya terjebak dalam kedinginan relasi dengan orang-orang sekitar kita.
Tiba-tiba ada perasaan bahwa kita bersosialisasi dalam masyarakat yang tidak tulus. Muncul kesangsian terhadap kebaikan orang-orang sekitar kita.
Lebih ekstrem lagi, kita merasakan seolah banyak orang pura-pura baik demi tujuan tertentu.
Nilai relasi yang seharusnya hangat, tiba-tiba hambar. Sebab hubungan sesama manusia bukan lagi dari hati ke hati atau dipererat dengan kebersamaan, melainkan cenderung dengan nilai kepentingan.
Hubungan sesama manusia semata-mata bersandarkan kepentingan diri sendiri. Bahkan tak jarang kepentingan ekonomi menjadi sandaran kuat.
Kemudian yang bakal terjadi, ketika tujuan kepentingan telah tercapai, selesailah relasi antarmanusia itu.
Mau dikemukakan pula, manakala nilai relasi manusia menurun, saat itulah gejala reifikasi muncul. Diingatkan para etikawan, dasar dari reifikasi adalah ’’penurunan” nilai relasi manusia.
Manusia sebagai benda
Reifikasi - atau dalam teori Marxis disebut pula sebagai verdinglichung - kurang lebih berarti pembendaan.
Menurut teori ini, seseorang menempatkan manusia lain sebagai benda. Kita melihat dan memperlakukan manusia lain hanya sebagai bagian dari alat-alat produksi untuk meraih keuntungan ekonomi.
Georg Lukacs yang menulis buku "History and Class Consciousness" (1923) sepakat dengan Marx bahwa komoditas menjadi objek yang mendasari hubungan antarorang.
Kemudian komoditas ini menumbuhkan reifikasi yang menunjukkan tereduksinya hubungan antarmanusia karena menjadi relasi alat produksi. Puncaknya adalah kasus-kasus pembunuhan yang dipaparkan pada awal tulisan ini.
Di antara kasus itu ada pula yang mengandung reifikasi. Sebab, sebagai alat produksi maka orang lain bisa dipandang sebagai pesaing ekonomi.
Bisa pula dianggap mengancam "rahasia" aktivitas ekonomi seseorang. Bisa berpotensi menjadi pengganjal kepentingan ekonominya.
Maka salah satu cara adalah harus menyingkirkan para pesaing maupun pengganjal itu guna melancarkan tujuan kepentingan ekonominya.
Celakanya, cara menyingkirkan itu sampai harus menghilangkan nyawa. Dan kemudian motifnya disamarkan.
Pembunuh sadis itu tak mengenal apa yang disebut imperatif kategoris. Menurut Immanuel Kant, filsuf Jerman, imperatif kategoris sebagai panduan rasional untuk kehidupan moral manusia.
Dengan imperatif kategoris seseorang akan melihat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan bukan semata sebagai alat untuk tujuan-tujuan lainnya.
Mereka yang tanpa imperatif kategoris maka tidak pernah melihat manusia lain sebagai tujuan pada dirinya sendiri, melainkan hanya sebagai alat untuk pemuas hasrat liar mereka.
Hidup pelaku tanpa bimbingan akal sehat, melainkan melulu dorongan hasrat yang tidak pernah dikenali dan dikelola. Akibatnya banyak orang menjadi korban dari sesat pikir tersebut.
Bagaimana mewaspadainya?
Masyarakat yang tidak tulus adalah sumber reifikasi. Seyogianya kita mewaspadai. Jangan-jangan orang di sekitar kita sedang menempatkan kita sebagai objek reifikasi.
Caranya? Kita memanfaatkan cara berpikir menyangsikan.
Kata Descartes, Bapak Filsafat Modern, untuk memperoleh kepastian dimulai dengan "le doute methodique" atau metode kesangsian.
Untuk menemukan titik kepastian itu Descartes mulai dengan sebuah kesangsian atas segala sesuatu.
Menyangsikan bukan kesia-siaan. Justru menyangsikan adalah berpikir. Kepastian akan eksistensi dicapai dengan berpikir.
Inilah yang kemudian menjadi terkenal "je pense done je suits alias cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada)".
Lewat metode kesangsian bakal ditemukan kebenaran dan kepastian yang kokoh, yaitu "cogito" atau kesadaran diri. Cogito ini ditemukan lewat pikiran kita sendiri.
Metode kesangsian ala Descartes ini bukan melulu mencurigai orang-orang di sekitar kita. Metode ini untuk mengukur kesadaran bahwa orang dekat kita memang benar-benar tulus. Bukan mempraktikkan reifikasi.
Namun jangan terkejut, jika orang lain pun sedang mengukur kita, apakah kita terperangkap reifikasi? Sebab, dalam sudut pandang apapun, reifikasi racun bagi relasi antarmanusia. Lebih menakutkan jika reifikasi berujung pembunuhan.
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/09/21/10340331/ada-apa-di-balik-maraknya-pembunuhan