JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Eddy Hermawan, memberikan catatan penting kepada pemerintah soal isu Jakarta tenggelam.
Eddy menyebut, proses tenggelamnya Jakarta secara perlahan-lahan memang tak bisa dihentikan.
Ia menyebut bahwa yang bisa dilakukan ialah menunda proses tenggelamnya Jakarta.
Salah satu caranya, yakni dengan mengawasi pemakaian air tanah yang menyebabkan penurunan muka tanah atau land subsidence.
Pasalnya, penggunaan air tanah secara tidak terkontrol menjadi penyebab utama yang berpotensi menenggelamkan Jakarta.
"Tetap saya sependapat bahwa untuk mencoba menyetop (tenggelamnya Jakarta) sih enggak mungkin, tapi (bisa ditunda dengan) memperketat pemakaian air tanah," ungkap Eddy saat dihubungi Kompas.com, Selasa (29/11/2022).
"Jadi harus diawasi benar-benar harus ada pemantauan, monitoring atau tindakan tegas kepada mereka yang tidak patuh," lanjutnya.
Selain itu, Eddy berpandangan, mengantisipasi tenggelamnya Ibu Kota tak bisa dilakukan sendiri.
Artinya, peran masyarakat terkait permasalahan ini dibutuhkan agar jangan sampai hanya segelintir orang yang peduli soal isu Jakarta tenggelam.
"Bagi masyarakat yang memang sudah mulai merasakan dampaknya, tidak panik, tetapi juga pemerintah jangan no action tindakan juga harus cepat dengan cara mengurangi (pemakaian) air tanah," kata Eddy.
Adapun bagian utara Jakarta menjadi wilayah yang paling terancam bila Jakarta tenggelam.
Maka dari itu, Eddy mencatat bahwa pemerintah perlu mengantisipasi saat terjadi banjir pesisir atau rob yang besar. Sebab, rob adalah salah satu ancaman bagi pesisir Jakarta.
"Yang ketiga adalah memang tidak bisa kita hindari bahwa Jakarta menjadi kawasan empuk bagi hadirnya awan-awan besar dari Asia," tuturnya.
Eddy mencontohkan, banjir bandang yang terjadi di awal 2020 lalu, disebabkan karena intensitas hujan tinggi dalam waktu singkat.
Kondisi ini, lanjut dia, merupakan tanda pemanasan global atau global warming.
Kala itu, berdasarkan data yang diterimanya, intensitas hujan tiga kali lipat lebih tinggi yakni 337 milimeter.
"Ini mengindikasikan bahwa (hujan) memberikan sumbangsih. Ada air dari atas turun ke kawasan kita ada juga air laut masuk, ditambah air tanah yang dikeruk tanpa adanya perhitungan nah sudah lah tinggal tunggu waktunya aja," kata Eddy.
Dia menilai, perlu ada penelitian lebih dalam soal potensi Jakarta tenggelam dengan berbagai penyebabnya.
Keterbukaan data dari instansi terkait, merupakan kunci penting agar para ahli bisa melakukan pemodelan terhadap skenario tenggelamnya Ibu Kota.
"Memang tidak mudah, karena diperlukan adanya keterbukaan dari masing-masing pihak untuk membuka datanya. Sehingga kami bisa memulihkannya dan kami bisa membuat skenarionya. Tanpa itu semua ya seperti inilah kondisinya," pungkas Eddy.
Sebagai informasi, Jakarta diprediksi akan tenggelam pada 2030. Pernyataan tersebut disampaikan Presiden Amerika Serikat Joe Biden dalam pidatonya di Kantor Direktur Intelijen Nasional pada 27 Juli 2021.
Biden kala itu menyebutkan, jika pemanasan global terus terjadi, hal itu bisa berdampak pada mencairnya es di kutub sehingga permukaan air laut naik.
Maka, menurut Biden, tak menutup kemungkinan bisa saja delapan tahun mendatang Jakarta tenggelam.
Sementara itu, dikutip dari akun Instagram @sobatair.jkt yang dikelola oleh Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, permukaan daratan di pesisir Jakarta memang sudah lebih rendah dibandingkan perairan.
Penyebabnya adalah peningkatan volume air laut akibat dari mencairnya es di kutub sebagai dampak pemanasan global.
Selain itu, permukaan tanah semakin turun akibat penggunaan air tanah yang masif.
Hasil penelitian ITB dan Dinas SDA Jakarta tahun 2021 mengatakan bahwa sekitar 18-20 persen wilayah Jakarta sudah berada di permukaan laut. Angka itu dipastikan terus bertambah.
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/11/30/09151611/ahli-bilang-tak-mungkin-menyetop-jakarta-tenggelam-yang-bisa-dilakukan