Pernyataan Menteri Perhubungan (Menhub) itu kemudian menjadi heboh di masyarakat dan banyak ditentang. Memang layak ditentang karena di negara manapun, tarif angkutan umum itu generalis, yakni bertarif sama dalam satu kelas pelayanan kereta api.
Di Korea Selatan (Korsel) ada tarif murah untuk para lansia, disabilitas, dan pelajar/anak. Hal itu juga sama di negara kita, ada tarif murah dari PT KAI untuk penumpang kereta api antar kota untuk kategori semacama itu.
Marak di dunia maya celetukan bahwa bakal ada tarif KRL untuk orang miskin dan untuk orang kaya. Kebijakan itu akan jadi blunder bila diterapkan.
Apa tolok ukur membedakan orang kaya dan miskin. Orang yang masuk kelompok mampu, apakah akan didata dari setoran pajak (NPWP), laporan SPT, atau saldo di bank? Pendataan orang kaya sangat sulit. Patokannya apa? Apa batasan kaya-miskin itu? Kaya itu tanpa batasan, sedangkan kategori tidak mampu (miskin) ada batasannya.
Lebih mudah bila patokannya adalah orang yang tidak mampu secara ekonomi dilihat dari upahnya tiap bulan. Apabila upah masih di bawah ketetapan UMP/UMK dapat dikategorikan kurang mampu.
Sebenarnya, BPS mempunyai 14 kriteria perhitungan rakyat miskin. Namun dalam kehidupan masyarakat metropolis seperti aglomerasi Jabodetabek akan lebih logis jika menggunakan standar kemampuan pendapatan upah minimum provinsi atau kota/kabupaten dan belanja bulan.
Jauh lebih masuk akal jika pemerintah pusat atau pemerintah daerah memberikan bantuan langsung tunai (BLT) khusus masyarakat tidak mampu untuk penggunaan angkutan umum. Bila di Jakarta punya kartu Jakarta Pintar, Kartu Jakarta Sehat, atau konteks nasional ada Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS), tidak ada salahnya diadakan kartu Indonesia transportasi (KIT) bagi yang membutuhkan.
Subsidi atau PSO
Penggunaan terminologi subsidi saja sebenarnya tidak tepat lagi karena subsidi itu adalah bantuan yang diperuntukan bagi orang yang tidak mampu secara ekonomis. Tidak ada orang mampu secara ekonomis yang disubsidi.
Bagi yang mampu, terminologi yang tepat adalah insentif. Maka, pemberian tarif ekonomis willingness to pay (WTP) melalui skema PSO bukanlah subsidi, tetapi insentif. Insentif tersebut bagi mereka yang telah membayar pajak (ppn/pph).
PSO (Public Service Obligation) atau Kewajiban Pelayanan Publik yang merupakan bagian tidak terpisahkan dengan subsidi. PSO dialokasikan pada sejumlah kementerian/lembaga, di antaranya adalah Perhubungan Laut dan Perkeretaapian serta Direktorat Kominfo.
PSO tersebut kemudian disalurkan kepada BUMN sebagai operator yang melaksanakan layanan kepada masyarakat termasuk disalurkan kepada PT KAI, yang KRL dioperatori oleh anak perusahaan KAI, yakni PT KCI.
Kita belanja, makan atau minum, menikmati hiburan di mal, sudah kena ppn mahal (11 persen), dan remunerasi kita kena PPH Pasal 21 terbaru juga mahal (5 - 35 persen). Bagi pembayar pajak menggunakan transportasi publik dengan skema PSO, akan kontra produktif jika sudah bayar pajak diminta tarif mahal lagi di fasilitas umum dan pelayanan umum termasuk KRL yang sebenarnya dapat gratis.
Orang kaya atau kelas menengah sudah dikenakan pajak dengan aturan pajak kekayaan yang berbeda-beda akan dikonversikan menjadi PSO di struktur tarif angkutan umum. Jadi irasional bila orang kaya yang sudah bayar pajak dikenakan tarif orang kaya lagi bila naik angkutan umum PSO seperti halnya KRL.
Yudanto Dwi Nugroho dari Dit. Abid. Polhukhankam dan BA BUN Kemenkeu (2021) mengatakan, belanja subsidi merupakan belanja yang dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan daya beli masyarakat secara umum. Kebijakan Subsidi PSO merupakan kebijakan yang harus dipertimbangkan untuk tetap dapat dialokasikan dan diserahkan kepada masyarakat umum yang membutuhkan.
Kemenkeu tidak sebutkan PSO hanya untuk masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis namun hanya sebutkan masyarakat umum yang membutuhkan. Dalam konteks transportasi umum, PSO dibutuhkan masyarakat yang menggunakan fasilitas umum, sehingga orang kaya pun rela meninggalkan kendaraan pribadinya untuk menggunakan angkutan umum massal perlu dihargai oleh pemerintah, tidak perlu lagi membayar pajak transportasi.
Bila banyak orang menggunakan angkutan umum massal, maka volume kendaraan berkurang. Tentunya bagi masyarakat yang telah mambayar pajak mempunyai hak yang sama dalam manggunakan fasilitas umum, termasuk transportasi umum.
Pengenaan PSO pada tarif angkutan massal KRL adalah salah satu konsep TDM (transport demand management), sehingga kalau tarif KRL murah maka segala lapisan masyarakat tertarik menggunakan KRL. Semakin banyak shifting ke angkutan umum massal (KRL), maka mode share angkutan umum menjadi lebih baik dan TDM berhasil. Bagaimana bila tarif KRL lebih mahal, tentunya program TDM dapat gagal.
Jika tarif KRL akan disesuaikan, silakan saja karena UMP Jabodetabek tiap tahun pasti naik, sedang tarif KRL sejak 2016 belum pernah naik. Sementara ada inflasi selama enam tahun terakhir. Maka, memang masuk akal bila dinaikan.
Tarif dapat disesuaikan dengan rencana terdahulu, yakni tapping awal naik Rp 2.000 menjadi Rp 5.000 hingga 25 km pertama dan selanjutnya 10 km berikutnya tiada kenaikan tarif. Bila ada skenario lain, mungkin bagi lansia, anak-anak sekolah dan disabel mau digratiskan naik KRL malah lebih baik karena malah lebih mudah pendataannya, jadi akan lebih adil.
Sesuai Policy Research Working Paper 4440 WorldBank (WB), belanja transportasi yang tepat bagi masyarakat adalah maksimal 10 persen dari upah bulanannya. Kajian WB tersebut berdasarkan riset dari negara-negara di Amerika Latin dan negara di Kepulauan Karibia 2007, sehingga dari kondisi sosial-ekonomi hampir sama dengan kondisi di Indonesia.
Bila pengeluaran transportasi masyarakat kita hanya 10 persen dari gajinya setiap bulan, maka sejahteralah kehidupan keluarganya. Tugas semua stakeholder, termasuk pemerintah harus mampu menekan tarif WTP KRL dan biaya first mile dan last mile, sehingga masyarakat dapat belanja transportasi maksimal 10 persen dari total upahnya.
Kecemburuan Sosial di KRL
Pembedaan atau parsialisasi tarif KRL untuk yang kaya dan tidak mampu akan menjadi distorsi atau kecemburuan sosial karena pembedaan tarif terjadi dalam satu kelas pelayanan KRL. Bisa terjadi kecemburuan sosial dalam perjalanan KRL.
Bagi penumpang yang “berdasi” mungkin akan memandang rendah penumpang yang disubsidi. Penumpang yang tidak disubsidi akan meminta prioritas pelayanan karena membayar tarif lebih mahal, minta didahulukan, minta tempat duduk karena merasa menyubsidi yang tidak mampu, dan seterusnya.
Mungkin adil bila perbedaan tarif dibedakan menurut kelas KRL seperti dulu terdapat tiga kelas, yakni Kelas 1 (ekspress) di stasiun tertentu berhenti tanpa skema PSO, kelas II (AC ekonomi) setiap stasiun berhenti dengan skema PSO dan kelas III (non AC ekonomi) setiap stasiun berhenti dengan skema PSO. Namun saat ini tidak ada lagi KRL non AC jadi untuk kelas III KRL tidak mungkin ada lagi.
Kita tidak perlu benchmarking ke luar negeri, kita cukup melihat Bus Trans Jateng yang membedakan tarif umum dengan tarif pelajar/mahasiswa dan buruh, sedangkan Bus Trans Semarang membedakan tarif umum dengan pelajar/mahasiswa dan lansia. Sekedar contoh untuk Bus Trans Semarang tarif lansia adalah Rp 1.000, sementara tarif umum Rp 3.500.
Bila KRL Jabodetabek ingin parsialisasi tarif seperti Bus Trans Semarang/Jateng tentunya akan lebih baik karena subsidi lebih tepat sasaran.
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/12/31/16515501/pembedaan-tarif-krl-untuk-orang-kaya-miskin-bisa-picu-kecemburuan-sosial
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & Ketentuan