TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com - Gumar (40), terlihat harap-harap cemas menanti orang yang lewat untuk membeli minuman tuak yang dia jual.
Yang ada di pikirannya saat ini ialah bagaimana caranya bisa bertahan hidup untuk tetap memberi makan anak istrinya dengan keterbatasan penghasilan yang ia miliki.
Terlebih, warga asli Rangkasbitung itu memiliki anak bayi berumur tiga bulan. Sehingga istrinya tidak bisa untuk membantunya mencari nafkah.
Sebelum memiliki bayi, istri Gumar bekerja sebagai asisten rumah tangga demi membantu menopang perekonomian keluarganya.
Sementara, ketiga anak sambungnya tinggal di Rangkasbitung bersama dengan orangtua sang istri.
Hingga Jumat (27/1/2023) siang, Gumar baru kedatangan dua pembeli saja. Dari pembeli tersebut, Gumar baru mendapat uang Rp 10.000.
Harga minuman tuak yang ia jual yaitu Rp 5.000 per gelasnya. Dalam sehari, Gumar hanya bisa meraup omzet sekitar Rp 15.000-Rp 30.000.
Itu pun nantinya akan dibagi dua kepada pemilik minuman tuak yang setiap harinya memasok lima liter kepada Gumar.
Jika ia mendapatkan omzet Rp 20.000, maka penghasilan bersihnya hanya Rp 10.000. Sedangkan sisanya akan disetor kepada pemasok tuak.
Pemasok itu akan mengantarkan stok tuak ke Stasiun Serpong setiap paginya. Di sana lah Gumar menunggu agar bisa menjual dagangannya dan memiliki penghasilan.
"Sehari Rp 10.000-Rp 30.000, itu juga masih dibagi dua buat nyetor. (Bayar) kontrakan Rp 500.000 sebulan, sudah nunggak tiga bulan," ujar Gumar saat ditemui di sekitaran bundaran Taman Tekno, Serpong, Tangsel pada Jumat.
Meski begitu, ia harus tetap kuat merangkul empat bilih bambu yang berisi tuak tersebut. Setiap hari, Gumar memikul bambu itu dari kontrakannya di daerah Kademangan Setu, atau tepatnya di belakang Perumahan Batan.
Berangkat sejak pukul 09.00 WIB, Gumar membawa jualannya dengan jarak ratusan meter hingga tiba di bundaran Taman Tekno BSD sekitar pukul 09.30 WIB.
Setelah berjualan hingga delapan jam lebih, Gumar biasa balik ke rumahnya sekitar pukul 18.00 WIB, mengulangi rute yang sama dengan perjalanan paginya.
"Pusing enggak kebayar (kontrakan), yang punya kontrakan nagih terus. Caranya nyicil Rp 10.000-Rp 20.000, ngutang dulu," jelas Gumar.
Sudah lebih dari dua tahun Gumar berjualan minuman tuak di sekitaran bundaran Taman Tekno.
Akan tetapi, penjualannya tak kunjung ramai pembeli meski Gumar tak punya saingan dengan barang dagangan yang sama.
Ia menduga hal itu terjadi lantaran tidak banyak warga yang mengetahui apa yang ia jual tersebut.
"Enggak ada saingan cuma sendirian doang di sini. Biasa yang beli orang Rangkasbitung, orang Jakarta mah enggak ngerti, enggak tahu jualan apa," kata Gumar.
"Ini enggak memabukkan, kalau dimasak jadi gula merah, soalnya ini air nira dicampur es, supaya dingin dan enggak cepat basi," lanjut dia.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/01/27/14342841/kisah-penjual-minuman-tuak-di-tangsel-bertahan-hidup-dengan-penghasilan