Perkara itu sempat dikabarkan tidak berjalan sampai kemudian kabar itu viral dan pihak kepolisian berjanji akan mengusutnya secara tuntas. Janji itu disampaikan Dirlantas Polda Metro Jaya, Kombes Latif Usman, pada 15 Desember 2022.
Setelah itu isu terkait perkara tersebut kembali senyap hingga pada 26 Januari 2023, tim kuasa hukum keluarga Harsya, Indira Rezkisari, menyatakan bahwa pihaknya telah mendapat surat pemberitahuan hasil penyelidikan dari kepolisian yang menyatakan perkara dihentikan karena Harsya ditetapkan sebagai tersangka tunggal kasus itu.
Kasus korban kecelakaan merupakan pihak yang menyebabkan kecelakaan sebenarnya banyak terjadi. Contoh terbaru adalah kasus sopir truk berinisial AR yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Satlantas Polresta Bogor Kota pada 16 Januari 2023 setelah sebelumnya AR menabrak remaja yang menghadang truk yang dikemudikannya. Remaja itu menghadang truk demi konten di media sosial.
Meskipun berakhir damai, tetapi penyidik Satlantas Polresta Bogor setidaknya telah menetapkan sopir truk menjadi tersangka.
Kasus sopir truk menjadi tersangka karena menabrak orang yang menghadang truknya demi konten media sosial bukan hanya sekali atau dua kali saja terjadi.
Begitu juga kasus ditetapkannya pengemudi bus transjakarta bernama Bima Pringgaswara ketika roda belakang bus yang dikemudikannya secara tidak sengaja melindas seorang pengendara sepeda motor yang kebetulan terjatuh setelah hilang keseimbangan di dekat stasiun Jakarta Kota pada 2016.
Bima bukan hanya ditetapkan menjadi tersangka, bahkan akhirnya divonis bersalah dan harus mendekam di lapas Salemba. Bima saat ini sudah bebas dan kembali menjalankan profesinya sebagai pengemudi.
Beda Nasib, Beda Kedudukan di Depan Hukum
Soal beda nasib, tentunya sesuatu yang memang tidak tepat membandingkan nasib pengemudi truk/bus dengan polisi, apalagi perwira. Namun jika merujuk ke azas kesamaan di depan hukum, harusnya tidak ada perbedaan.
Jika melihat dalih penetapan tersangka kepada sopir truk dan bus, penyebab kecelakaan sebenarnya bukan mereka, mereka dianggap “kurang berhati-hati”. Meski pada kasus Bima, dalih itu sangat tidak masuk akal karena jarak pengereman dengan titik jatuhnya korban sangat dekat.
Sayang pada proses persidangan, tidak ada saksi ahli yang bisa membela Bima terkait hal ini. Hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat pun pada 12 Mei 2016 memvonis Bima dengan hukuman 2,5 tahun penjara.
Begitu juga pensiunan perwira Polri yang kendaraannya terlibat kecelakaan dengan Harsya, sudah seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama. Jika pun Harsya memang berandil dalam kecelakaan yang menimpanya, tidak lantas menghilangkan peran pengendara yang melindasnya. Seperti yang dialami Bima dan AR, seharusnya pensiunan perwira Polri tersebut dapat juga menyandang status tersangka.
Fakta bahwa di kemudian hari AR berdamai dengan keluarga korban, hal itu tentu dinamika yang mungkin saja terjadi. Namun sekali lagi, penetapan tersangka terhadap pensiunan perwira Polri yang melindas Harsya tidak bisa dikesampingkan. Apalagi jika merujuk pada Pasal 235 UU 22/2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, pertanggungjawaban materil seperti mengganti kerusakan, membantu biaya pengobatan, hingga membantu biaya pemakana tidak mengguguran tuntutan perkara pidana.
Sudah seharusnya penyidik lalu lintas yang menangani perkara itu lebih cermat dalam menetapkan tersangka. Perlakuan terhadap sopir truk/bus dalam kondisi serupa, bisa menjadi acuan penyidik dalam melakukan penyidikan laka lantas yang menewaskan Harsya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/01/27/15472511/beda-nasib-sopir-truk-bus-dengan-purnawirawan-polri-saat-kecelakaan